Anggota DPR Jadi Ahli UU Perlintan
Berita

Anggota DPR Jadi Ahli UU Perlintan

Pasal-pasal yang diuji diminta tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

ASH
Bacaan 2 Menit
Anggota DPR Jadi Ahli UU Perlintan
Hukumonline
Ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) yang mengamanatkan pembentukan kelembagaan petani dinilai mencegah terjadinya pelemahan kapasitas petani. Bahkan, kelembagaan petani dapat mencegah hilangnya motivasi dan etos kerja petani berprestasi akibat ketidakjelasan payung hukum keberlanjutan kelembagaan petani yang kuat.

“UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dapat menumbuhkankembangkan keberadaan kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) yang produktif, maju, dan modern,” kata Ir Herman Khaerun saat dimintai keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Perlintan yang dimohonkan sejumlah LSM di ruang sidang MK, Senin (03/3).

Wakil Ketua Komisi IV DPR ini menjelaskan Pasal 70 UU Perlintan telah mengelompokkan bentuk kelembagaan petani yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani guna memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani. Kelembagaan petani meliputi Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional yang didasarkan kesamaan kepentingan.

“Faktanya, semakin banyak kesamaan akan memperkecil jumlah perbedaan, sehingga mengurangi potensi konflik. Misalnya, poktan dan gapoktan efektif mengurangi konflik terutama dalam pengaturan air di persawahan dalam upaya mencari solusi bersama,” kata Herman.

Dia mengakui Pasal 70 UU Perlintan tidak mengatur tujuan dan misi setiap lembaga tani. Tujuan dan misi diserahkan kepada petani sesuai perpaduan budaya, norma, nilai dan kearifan lokal petani. Pembentukan tujuan dan misi wadah itu wujud hak petani untuk bebas berserikat dan berdemokrasi untuk memperjuangkan kepentingannya.

“Adanya kata ‘kewajiban’ dalam Pasal 71 mengandung makna anjuran yang sangat kuat untuk bergabung dalam kelembagaan petani. Sebab, jika tidak dilaksanakan, tidak membawa konsekwensi petani dikenai sanksi formal,” mantan ketua Panja Penyusunan dan Pembahasan RUU Perlintan.

Karenanya, Pasal 59, Pasal 70, Pasal 71 tidak bertentangan dengan UUD 1945 seperti didalikan para pemohon. Justru, pasal-pasal itu patut dipertahankan karena dapat memberikan solusi kebutuhan petani di lapangan. “Pasal-pasal itu tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai bentuk pemihakan negara terhadap petani.”

Permohonan ini diajukan sejumlah LSM yaitu IHCS, SPI, FIELD, API, KPA, KIARA, Bina Desa, IGJ, KRKP, Sawit Watch, Walhi, dan Kontras. Mereka mempersoalkan Pasal 59, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71 (1) UU Perlintan. Para pemohon menilai ketentuan yang mengatur perolehan izin lahan pertanian dan kelembagaan petani itu menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi petani.

Aturan perizinan lahan petani dinilai tidak komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. Sebab, aturan itu hanya mengatur konsolidasi tanah, tanah telantar, dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusi ke petani dengan hak sewa, izin usaha, izin pengelolaan dan pemanfaatan, tidak bisa menjadi hak milik petani. Hal ini potensial menyulitkan petani memperoleh penghidupan layak mengingat petani umumnya masyarakat kurang mampu membayar sewa dan izin.

Sementara kelembagaan petani dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1) UU Perlintan dinilai bentuk korporatisme negara dimana pemerintah memfasilitasi pembentukan dan penentuan bentuk lembaga petani (tersentral). Petani hanya diberi wadah kesempatan berorganisasi yang ditentukan pemerintah. Dengan begitu, lembaga petani yang berbeda potensial tidak diberdayakan dan dilindungi pemerintah, sehingga bertentangan dengan hak berserikat petani.
Tags:

Berita Terkait