Kemenkes Lamban Tindak Lanjuti Amanat UU
Berita

Kemenkes Lamban Tindak Lanjuti Amanat UU

Gara-gara aturan transisi tak ada, ada pasien peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditolak rumah sakit.

ADY
Bacaan 2 Menit
Kemenkes Lamban Tindak Lanjuti Amanat UU
Hukumonline
Terjun ke lapangan dan menemukan banyak kejanggalan membuat sejumlah anggota Komisi Kesehatan DPR gerah. Di lapangan, anggota Dewan menemukan keluhan tentang penolakan rumah sakit atas peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Mirisnya lagi, di Bandar Lampung ada pasien yang dibuang pihak rumah sakit.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, menilai pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, lamban menindaklanjuti amanat Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BJPS). Gara-gara peraturan pelaksana dan petunjuk teknis tak lengkap, pelaksanaan BJPS di lapangan masih terkendala. Penolakan rumah sakit terhadap pasien JPK, Askes dan Jamkesmas, hanya salah satu dampaknya.

Komisi IX, kata Rieke, sudah meminta Kementerian Kesehatan menerbitkan ketentuan transisi dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. Sehingga tidak ada masyarakat yang ditolak RS ketika ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. “Solusinya kami mendesak ada masa transisi satu tahun dimana tidak boleh ada penolakan terhadap pasien,” katanya kepada wartawan usai rapat di ruang Komisi IX DPR, Senin (10/2).

Seharusnya, kata politisi PDI Perjuangan itu, peraturan pelaksana BPJS Kesehatan diterbitkan paling lambat 2012. Sehingga selama tahun 2013 dapat dilakukan sosialisasi sebelum beroperasinya BPJS Kesehatan 1 Januari 2014. Sayangnya hal itu tidak dilakukan dan berbagai peraturan tersebut baru diterbitkan akhir 2013.

Waktu transisi setahun perlu agar selama itu masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan tidak boleh ditolak. Hal itu selaras dengan esensi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu memberikan jaminan untuk seluruh rakyat Indonesia. Rieke mengatakan tidak perlu mengikuti sistem rujukan yang berbelit-belit, tapi masyarakat cukup menunjukan KTP kepada penyedia fasilitas kesehatan yang dituju. “Kami mendesak agar dimunculkan regulasinya karena itu menyangkut esensi sebenarnya SJSN,” tuturnya.

Begitu pula dengan peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan, Rieke mengatakan praktiknya di lapangan masih banyak orang miskin dan tidak mampu yang luput dari jaminan kesehatan. Padahal, ia menghitung anggaran yang ada cukup untuk dikucurkan kepada peserta PBI. “Sebenarnya cukup untuk menanggung biaya 240 juta rakyat Indonesia. Itu iuran PBI-nya cuma Rp56,7triliun, kalau diambil Rp1.840,5 triliun dari APBN 2014 mosok nggak bisa,” ucapnya.

Bagi Rieke, sebaik apapun sebuah UU akan percuma jika implementasinya tidak bagus. Untuk itu peran pengawasan pemerintah harus jelas. Sehingga ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar ketentuan. Sayangnya, badan pengawas RS sebagaimana amanat UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit sampai sekarang belum dibentuk.

Selain itu, Rieke melanjutkan, peraturan pelaksana yang mengamanatkan agar dibentuk badan pengawas itu baru diterbitkan Oktober 2013 lewat PP tentang Badan Pengawas RS. “Badan pengawas harus ada di tingkat Provinsi. Untuk mengawasi pelayanan kesehatan sampai ke tingkat bawah, targetnya harus dibentuk pula badan pengawas RS sampai kabupaten/kota,” ujarnya.

Dalam rapat antara Komisi IX dengan Kemenkes, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Lampung, Kabupaten Pinrang dan Kota Tangerang Selatan, serta Dirut RSUD DR A Dadi Tjokrodipo, RSU Lansirang dan Ketua Asosiasi RS Daerah (Arsada), Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning, mengatakan pemerintah tak kunjung menerbitkan PP yang menjadi amanat pasal 32 UU Kesehatan. Padahal, ketentuan itu menjaga kedaulatan dan melindungi pasien. Serta ada sanksi bagi fasilitas dan tenaga kesehatan yang melakukan tindakan merugikan pasien. “Harus ada PP biar ada peraturan pelaksananya,” paparnya.

Komisi IX DPR menerbitkan empat kesimpulan dalam rapat tersebut. Pertama, mendesak Kemenkes meningkatkan pengawasan dan pembinaan terhadap RS melalui pembentukan Dewan Pengawas dan Badan Pengawas di tingkat Provinsi sesuai dengan UU RS. Kedua, Kemenkes dituntut melakukan investigasi lebih lanjut terhadap masalah pasien dari RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo, Bandar Lampung.

Ketiga, Kemenkes didesak agar ada masa transisi BPJS selama setahun dimana sistem rujukan disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Keempat, Kemenkes harus melakuakan perbaikan terhadap sistem pelayanan kesehatan primer sehingga tercipta pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes, Akmal Taher, mengaku setuju atas usulan Komisi IX DPR. Perlu kebijakan untuk menyikapi perkembangan BPJS Kesehatan pada pelaksanaan di beberapa bulan awal. Misalnya, untuk peserta BPJS Kesehatan yang pertama kali langsung menyambangi RS tanpa rujukan, maka harus mendapat pelayanan.

Menurut Akmal, kebijakan itu perlu dikeluarkan karena peserta yang bersangkutan tidak mendapat sosialisasi yang baik. Sehingga tidak paham tata cara untuk mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan. “Kami akan menerbitkan peraturan untuk hal itu,” janjinya.
Tags:

Berita Terkait