MK Diminta Batalkan UU Eks Perppu MK
Berita

MK Diminta Batalkan UU Eks Perppu MK

Pengujiaan UU ini demi kepentingan law enforcement, bukan kepentingan pribadi.

ASH
Bacaan 2 Menit
MK Diminta Batalkan UU Eks Perppu MK
Hukumonline
MK menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU Mahkamah Konstitusi. Aturan eks Perppu MK ini kembali digugat dua pemohon yang berbeda yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, UUD 1945 tak mengamanatkan pelibatan KY dalam pengajuan calon hakim konstitusi melalui KY dan pengawasan hakim konstitusi.

Tercatat sebagai pemohon pertama dimohonkan sejumlah advokat yaitu Andi M Asrun, Robikin Emhas, Syarif Hidayatullah, Heru Widodo, Samsul Huda, Dorel Almir, Daniel Tonapa Masiku, Hartanto, Samsudin, Dhimas Pradana, Aan Sukirman. Permohonan kedua diajukan Gautama Budi Arundhati, Nurul Ghufron, Firman Floranta Adonara, Samuel Saut Martua, Dodik Prihatin, Iwan Rachmat Setijono  yang mengatanamakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember.

Salah satu pemohon, Andi M Asrun, mengaku sudah memperbaiki permohonan yang disarankan pada sidang sebelumnya. Seperti, surat kuasa dan lampiran beberapa alat bukti dalam permohonan. Selanjutanya, Asrun  dkk berencana akan mengajukan ahli untuk memperkuat dalil permohonan. “Kami akan ajukan ahli Prof Natabaya (HAS Natabaya—red), mohon alokasi waktu untuk mendengar keterangan ahli kami, setelah sidang pleno mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR. Nanti akan kita serahkan identitas ahlinya,” kata Asrun dalam sidang dipimpin Harjono dan beranggotakan M. Alim dan Maria Farida di gedung MK, Kamis (30/1).

“Kalau begitu, alat bukti saya sahkan. Nanti akan kita alokasikan jadwal sidangnya, tetapi sebelumnya serahkan identitas ahlinya,” kata Harjono.

Usai persidangan, Asrun melanjutkan sejak awal proses penyusunan pembentukan UU No. 4 Tahun 2014 memang bermasalah, seperti termuat dalam konsiderans UU itu. Intinya, kata Asrun, yang dipersoalkan menyangkut penambahan syarat hakim konstitusi, perubahan mekanisme seleksi dan pengajuan hakim konstiusi, dan perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi yang melibatkan KY.

“Tiba-tiba lembaga yang tak dikenal (dalam UUD 1945) ditetapkan dalam UU ini. Misalnya, seleksi calon hakim konstusi oleh Panel Ahli yang dibentuk KY. Padahal  original intent konstitusi, hakim konstitusi diajukan DPR, Presiden, dan MA. Seolah panel ahli berada di atas kekuasaan ketiga lembaga itu. Ini melanggar kontitusi,” kata Asrun.

Asrun berpendapat UU MK Perubahan Kedua telah memperbesar kewenangan KY dan mengurangi kewenangan DPR, MA, dan Presiden tanpa mengubah UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY. Pelibatan KY dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang permanen dibentuk bersama MK juga dinilai bermasalah. Sebab, konsiderans UU itu hanya menjadikan UU MK sebagai dasar menimbang, sementara UU lain, khususnya UU KY tidak dicantumkan dan seharusnya UU KY juga diubah.

“Kalau mau tertib bernegara secara benar seharusnya seluruh materi UU No. 4 Tahun 2014 harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945,” pintanya.

Sebagai pemohon, Asrun setuju ada lembaga baru yang mengawasi MK. Namun, pola pengawasannya bukan seperti yang ada dalam UU No. 4 Tahun 2014 karena seolah-olah MK menjadi bahan permainan. “Makanya, kita menguji secara materi demi kepentingan law enforcement, nggak ada kepentingan pribadi,” akunya.

Dia menambahkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU No. 4 Tahun 2014 terkait penambahan syarat tidak menjadi anggota parpol dalam waktu tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi juga tidak dikenal dalam UUD 1945. “Syarat ini hanya dikenal di Perancis,” imbuhnya.
Tags:

Berita Terkait