Kepala Daerah Sumbar Persoalkan Aturan Pengunduran Diri
Berita

Kepala Daerah Sumbar Persoalkan Aturan Pengunduran Diri

Pemohon ingin diperlakukan sama seperti anggota legislatif.

ASH
Bacaan 2 Menit
Kepala Daerah Sumbar Persoalkan Aturan Pengunduran Diri
Hukumonline

Empat kepala daerah di Sumatera Barat (Sumbar) mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pemilu legislatif) ke MK. Mereka yang menjadi pemohon antara lain Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim, M. Bupati Tanah Datar Shadiq Pasadigoe, Bupati Solok Syamsu Rahim, dan Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit.

Mereka memohon pengujian Pasal 12 huruf k, Pasal 51 ayat (1) huruf k, Pasal 51 ayat (2) huruf h, Pasal 68 ayat (2) huruf h UU No. 8 Tahun 2012, khususnya terkait pengunduran diri (permanen) sebagai kepala daerah. Mereka merasa dirugikan jika harus melepaskan jabatannya dengan surat pengunduran diri yang tidak bisa ditarik kembali, sebelum benar-benar terpilih sebagai anggota legislatif.      

“Aturan pengunduran diri, kita anggap norma yang bertentangan Pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945, semua warga negara itu berhak mendapatkan perlakuan yang sama,” papar kuasa hukum pemohon, Khairul Fahmi di ruang sidang MK, Selasa (29/1).

Misalnya, Pasal 51 (1) menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah WNI dan harus memenuhi persyaratan: (k) mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, PNS, anggota TNI, anggota Polri, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.  

Khairul menilai adanya aturan harus mengundurkan diri secara permanen sebagai kepala dan wakil kepala daerah ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif bersifat diskriminatif. Terlebih jika dibandingkan dengan jabatan negara dan jabatan politik lainnya. Padahal, jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama-sama jabatan politik seperti halnya anggota legislatif.  

“Sama-sama jabatan politik dengan persyaratan pencalonannya berbeda. jika anggota legislatif yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak harus mengundurkan diri dari jabatannya.Kenapa hanya jabatan kepala dan wakil kepala daerah yang harus berhenti, inikan diskriminatif,” kata Khairul.

Menurutnya, kalau norma persyaratan pemilu itu berjalan dengan fair, seharusnya bisa diterapkan sistem nonaktif (pemberhentian sementara) dari jabatan sebagai kepala daerah. “Bisa saja diberlakukan norma nonaktif sementara sebagai kepada kepala daerah, tidak harus mundur secara permanen,” kata Khairul.

Tags:

Berita Terkait