Asuransi Masih Berharap Tak Kena Iuran OJK
Berita

Asuransi Masih Berharap Tak Kena Iuran OJK

Sangat dimungkinkan OJK mendapat anggaran dari APBN selamanya.

FNH
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis (tengah) usai sidang RDPU asosiasi asuransi. Foto: Sgp
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis (tengah) usai sidang RDPU asosiasi asuransi. Foto: Sgp

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cornelius Simanjuntak mengharapkan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak melakukan pungutan iuran kepada industri jasa keuangan pada pertengahan 2013 nanti. Persoalan iuran tersebut masih menjadi pembahasan di dalam internal AAUI.

"Iuran industri pada pertengahan tahun 2013 nanti sebaiknya ditiadakan," kata Cornelius Simanjuntak dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi XI DPR di Komplek Senayan, Rabu (9/1).

Ia mengatakan, sebagai sebuah lembaga superbody yang memiliki kewenangan yang luas, seharusnya pemerintah atau negara tidak lepas tangan terhadap lembaga pengawas jasa keuangan tersebut. Artinya, negara memiliki tanggung jawab terhadap anggaran OJK.

Cornelius memberikan contoh. Salah satu negara yang juga menganut sistem pengawas jasa keuangan seperti OJK di Indonesia adalah Jepang. Di sana, kata Cornelius, lembaga seperti OJK anggarannya dibiayai oleh pemerintah sehingga tidak memungut fee dan tidak memberatkan industri.

Jika OJK dibiayai oleh industri jasa keuangan melalui pungutan rutin, menurut Cornelius, maka harus ada bentuk pertanggung jawaban penggunaan dana tersebut kepada industri. "Pungutan itu tidak ideal bila dikenakan kepada pelaku industri. Idealnya memang pemerintah yang membiayai," katanya

Namun, jika nantinya OJK tetap melakukan pungutan dari industri keuangan, sebaiknya tidak memeberatkan industri termasuk asuransi umum. Sayangnya, Cornelius belum bisa menyebutkan besaran iuran yang ideal bagi industri.

Cornelius menyarankan, sebelum menetapkan besaran  iuran, sebaiknya OJK mehitung biaya operasional. Melalui perhitungan tersebut, dapat ditentukan berapa besaran biaya yang akan didanai oleh pemerintah dan berapa yang akan dibiayai oleh industri keuangan.

Lebih lanjut, Cornelius berharap pemerintah bisa membiayai OJK dengan menganggarkan dana di dalam APBN. "Kalau pun harus ada pungutan, jumlahnya jangan terlalu besar. Misalnya, kalau kebutuhannya Rp100 miliar, maka iurannya jangan bisa mencapai Rp400 miliar," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis mengatakan, persoalan pembiayaan OJK sebenarnya bisa dibiayai oleh negara melalui APBN. Hanya saja, hal tersebut harus diajukan oleh OJK kepada DPR dan dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan. Tetapi sejauh ini, OJK masih mengupayakan biaya anggaran melalui fee dari industri.

"OJK belum mengajukan usulan untuk menggunakan APBN," kata Harry.

Jika melihat ke UU tentang OJK, Harry mengatakan ada pilihan pada UU tersebut untuk menggunakan APBN atau mengambil fee dari industri. Kata "dan/atau" dijadikan sebagai acuan pilihan bagi OJK terkait pembiayaan anggarannya. Bahkan, sangat dimungkinkan jika OJK mendapatkan anggaran dari APBN selamanya.

Tetapi, perlu mekanisme yang jelas untuk menggunakan APBN. Mekanisme tersebut harus dibahas oleh pihak-pihak terkait seperti DPR, OJK serta Kemenkeu yang akan dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah (PP).

"Bisa saja APBN membiayai selamanya. Harus dibicarakan misalnya 30 persen dr APBN selamanya atau nanti semakin lama APBN semakin sedikit memberikan pembiayaan kepada OJK. Tentunya tergantung kesepakatan," pungkasnya.

Tags: