Pemohon Keberatan YLBHI Menjadi Pihak Terkait
Berita

Pemohon Keberatan YLBHI Menjadi Pihak Terkait

Keberatan pemohon akan dipertimbangkan dalam rapat permusyawaratan hakim.

ASH
Bacaan 2 Menit
Sidang pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum di gedung MK. Foto: Sgp
Sidang pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum di gedung MK. Foto: Sgp

Salah satu pemohon pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang dimohonkan sejumlah advokat, menyatakan keberatan masuknya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi pihak terkait. 

“Kita keberatan masuknya pihak terkait (YLBHI, red) dalam permohonan ini karena pemohon ini adalah advokat selaku penegak hukum, di luar itu bukan penegak hukum dan tidak termasuk kategori ‘badan-badan lain’,” kata salah satu pemohon UU Bantuan Hukum, Dominggus Maurits Luitnan dalam sidang perbaikan permohonan di Gedung MK, Rabu (10/10).

Dia menegaskan penolakan YLBHI selaku pihak terkait lantaran YLBHI bukan organisasi penegak hukum. Sebab, menurutnya, yang berwenang mendirikan lembaga bantuan hukum organisasi profesi advokat yakni Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). “Itu jelas diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Bantuan Hukum. Advokat diangkat oleh organisasi profesi yakni KKAI di luar itu tidak,” tegasnya.   

Ketua Majelis Panel Hakim, Anwar Usman mengakui dalam perkara ini ada permohonan dari YLBHI untuk menjadi pihak terkait. “Keberatan Saudara kita catat dan akan dipertimbangkan dalam rapat permusyawarakatan hakim,” katanya.      

Selanjutnya, para pemohon diminta menunggu panggilan dari Mahkamah mengenai kelanjutan perkara ini apakah akan dilanjutkan dengan sidang pleno atau langsung diputus. “Nanti akan diputuskan dalam rapat permusyawakatan hakim,” tegasnya.    

Dalam perbaikan permohonannya, para pemohon mengaku sudah memperbaiki permohonan yang menyangkut sistematika/konstruksi permohonan dan penambahan Pasal 24 ayat (3) dan 28J ayat (2) UUD RI Tahun 1945. “Dalam petitum juga sudah kita masukkan Pasal 24 ayat (3) dan 28J ayat (2) UUD RI Tahun 1945,” katanya.

Dominggus menegaskan ketentuan dalam UU Bantuan Hukum terkait rekrutmen paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum juga merugikan pemohon selaku advokat. Dalam permohonannya juga ditegaskan bahwa Menteri Hukum dan HAM tidak mempunyai kewenangan mengurusi organisasi advokat dengan membuat standar pemberian bantuan hukum karena sudah ada putusan MK No. 067/PUU/II/2004.

“Putusan itu menyebutkan pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) tidak mempunyai kewenangan mengurusi organisasi advokat termasuk membuat standar pemberian bantuan hukum.”

Sebelumnya, YLBHI secara resmi telah mengajukan diri sebagai pihak terkait (intervensi) dalam perkara permohonan pengujian UU Bantuan Hukum ini. Keputusan itu diambil lantaran uji materi itu dinilai buah dari kesalahan berpikir. Dalam permohonannya, pendirian YLBHI didirikan atas gagasan dalam Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) ke-3 pada tahun 1969 dan dibentuk pada tanggal 28 Oktober 1970 dan menjadi YLBHI pada 13 Maret 1980.

Sejak tahun 2005, YLBHI melakukan sejumlah aktivitas untuk menyusun naskah akademik draft RUU Bantuan Hukum yang melibatkan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang bantuan hukum. Termasuk, inisiatif mendorong RUU Bantuan Hukum dengan melakukan pertemuan dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 24 April 2006 yang menghadirkan sejumlah narasumber dari negara-negara (Australia, Taiwan, Afrika Selatan) yang telah memiliki UU Bantuan Hukum.            

YLBHI juga pernah mengajukan RUU Bantuan Hukum kepada Baleg DPR yang dalam rapat paripurna pada 1 Desember 2009 disepakati RUU Bantuan Hukum salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2010-2014. Karena itu, YLBHI minta dikabulkan sebagai pihak terkait oleh MK.     

Untuk diketahui, sejumlah advokat mengajukan permohonan uji materi UU Bantuan Hukum terhadap UUD 1945. Mereka adalah Dominggus Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB Mansyur Abubakar, Malkam Bouw, Paulus Pase, LA Lada, Metiawati, A Yetty Lentari, dan Shinta Marghiyana.

Dominggus dan kawan-kawan mempersoalkan 10 pasal UU Bantuan Hukum yaitu Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9;  Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22.

Menurutnya, UU Bantuan Hukum sangat merugikan profesi advokat karena memungkinkan dosen, mahasiswa hukum, dan aktivis LBH beracara di dalam maupun di luar pengadilan dalam rangka memberi bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Padahal UU Advokat dan PP No. 83 Tahun 2008 sudah mengatur kewajiban advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin.

Selain itu, lewat mekanisme UU Bantuan Hukum, sangat dimungkinkan pengawasan pemerintah terhadap advokat. Sebuah prinsip yang sebenarnya sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi sendiri. Pengawasan advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan semua pasal itu karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) UUD 1945.

Tags: