UU Pengadaan Tanah Dinilai Rugikan Masyarakat
Berita

UU Pengadaan Tanah Dinilai Rugikan Masyarakat

Pengadaan tanah oleh pemerintah merupakan perbuatan hukum publik yang ditujukan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan swasta.

ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang pengujian UU Pengadaan Tanah di Gedung MK Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Suasana sidang pengujian UU Pengadaan Tanah di Gedung MK Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum dinilai tidak menguntungkan masyarakat. UU itu justru membuat masyarakat kehilangan lahan dan penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari.

“Anak saya terpaksa berhenti sekolah karena saya kehilangan lahan untuk bekerja,” kata Sutinah, warga pesisir Pantai Parang Tritis, Bantul, Yogyakarta saat memberi kesaksian dalam sidang pengujian UU Pengadaan Tanah di Gedung MK Jakarta, Selasa (14/8).

Sutinah menanggap pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah justru tidak pro masyarakat. Ia mengaku telah mengalami empat kali penggusuran lahan yang dilakukan pemerintah. “Sebelum penggusuran, Bupati Idham Samawi pada 2006 telah mengumpulkan warga Parang Endog hingga Parang Kusumo bahwa lapak-lapak pinggir pantai yang dianggap kumuh akan dihilangkan dan akan ditata,” ujar Sutinah.

Meski masyarakat mendapat ganti lahan berdagang berupa los, tetapi tempat tersebut sampai saat ini tidak pernah digunakan. Alasannya, tempat tersebut jauh dari lokasi wisata dan jarang didatangi wisatawan. "Setelah penggusuran, perekonomian merosot total karena tidak ada tempat layak untuk mendapat penghasilan karena tempat yang baru jauh dari tempat wisata atau pengunjung,” keluhnya.

Saksi lainnya, Ujang, nelayan tradisional dari Kalibaru, Jakarta Utara mengaku kehilangan 75 persen penghasilannya. Di lokasi tempat ia melaut saat ini akan dibangun Pelabuhan Kalibaru. “Saya harus memutar untuk bisa sampai pelabuhan dan artinya hanya mendapat ikan sedikit, hanya 5 kilogram per hari,” kata Ujang.

Pelaksanaan proyek pembangunan Pelabuhan Kalibaru, kata Ujang, tidak disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat atau nelayan sekitar Kalibaru. Selain menurunnya penghasilan, sebagian anak nelayan juga mengalami putus sekolah. “Sebagai nelayan tradisional kami terganggu karena saingan kami adalah kapal-kapal besar, sekarang kami juga harus berputar lewat Marunda yang lebih jauh,” ujarnya mengeluh.

Menurut Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kurnia Warman, Padang harus ada keseimbangan antara hukum dan kepentingan masyarakat terkait tanah. Meski hukum harus menjamin tersedianya bidang-bidang tanah untuk berbagai keperluan terkait penyelenggaran negara, hukum juga harus memperhatikan hak rakyat.

“Hak rakyat harus dijamin kepastiannya agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan pemerintah dalam pembangunan,” ujar ahli yang sengaja dihadirkan oleh pemohon ini. 

Dia mengingatkan kepentingan pengadaan tanah oleh pemerintah merupakan perbuatan hukum publik yang ditujukan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan swasta. Caranya, kata Kurnia, dengan mendasarkan pada prinsip musyawarah dimana musyawarah diadakan untuk menyepakati dan menentukan bentuk dan besar ganti kerugian atas pembebasan lahan tanah.

Sementara ahli dari pemerintah, Satya Harinanto mengatakan justru pembentukan UU Pengadaan Tanah ini untuk melaksanakan prinsip utama negara hukum. “Misalnya, adanya peningkatan jalan tol justru untuk meningkatkan efisiensi transportasi," ujarnya.

Ia juga mencontohkan adanya Pelabuhan Kalibaru, sekitar 60 persen kegiatan impor akan dilakukan di sana, tentunya akan meningkatkan devisa bagi negara.

Pengujian sejumlah pasal dalam UU Pengadaan Tanah ini dimohonkan oleh Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI).

Mereka meminta MK membatalkan Pasal 2 huruf g, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 UU Pengadaan Tanah karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal itu dinilai melegalkan perampasan tanah dengan dalih kepentingan umum. Faktanya, lebih berorientasi pada kepentingan bisnis seperti membangun usaha perkebunan, pertambangan, cagar alam, pariwisata, jalan tol, dan pelabuhan yang bukan ditujukan untuk kemakmuran rakyat.

Menurut pemohon pembangunan jenis usaha itu tidak tepat dikategorikan sebagai kepentingan umum karena UU Pengadaan ini tidak ditemukan definisi kepentingan umum dan kepentingan pembangunan. Padahal, Pasal 9 UU tersebut menyebutkan pengadaan tanah harus memperhatikan atau menyeimbangkan kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat atau umum.

Tags: