Ketahanan Pangan Indonesia Masih Lemah
Utama

Ketahanan Pangan Indonesia Masih Lemah

Pemerintah dinilai perlu merevisi UU Agraria demi kepentingan pangan dalam negeri.

YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Ketahanan pangan Indonesia masih lemah. Foto: ilustrasi (Sgp)
Ketahanan pangan Indonesia masih lemah. Foto: ilustrasi (Sgp)

Bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, tempe merupakan lauk yang istimewa sebagai pengganti daging. Namun, tempe sulit ditemukan di pasaran belakangan ini. Bak makanan istimewa, harga tempe dan kedelai di Tanah Air melambung seiring persoalan kekeringan yang dialami Amerika Serikat.

Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog, Agusdin Faried, mengatakan seharusnya Indonesia mampu swasembada tempe. Dia menilai lemahnya ketahanan pangan Indonesia menjadi salah satu penyebab terganggunya suplai pangan di dalam negeri. “Pengaruh dari Amerika Serikat ini menandakan lemahnya ketahanan pangan kita,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (28/7).

Bulog sendiri memiliki peran sentral sebagai stabilitator harga. Agusdin menyatakan siap jika pemerintah menunjuk Bulog untuk melakukan impor kedelai sebagai upaya menstabilkan harga kedelai. Dia menekankan, sejak perubahan nama menjadi Perum, Bulog memiliki dua sisi yaitu sebagai penstabil harga, tetapi juga mengejar keuntungan dari sisi komersil.

“Sebagai lembaga yang memikirkan sisi komersil, maka pembiayaan Bulog sekarang ini tidak menggunakan uang negara, melainkan didapat melalui kredit dari perbankan,” katanya.

Terpisah, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan pemerintah siap mendukung Bulog untuk berperan dalam menstabilkan harga komoditas kedelai. Saat ini, katanya, sudah ada upaya pembicaraan terkait hal tersebut. Jika hal itu disetujui, katanya, Bulog nantinya akan menjadi penyangga atau buffer stock selain komoditas beras.

“Jika tujuannya untuk menstabilkan harga kedelai seperti halnya komoditas lain, seperti beras tentunya kita mendukung,” ujarnya.  

Gita menjelaskan, melonjaknya harga kedelai dikarenakan pasokan tidak seimbang dengan permintaan, menyusul faktor anomali cuaca yang terjadi di beberapa negara pemasok kedelai, sehingga berpengaruh pada hasil panen komoditas tersebut.

Konsumsi kedelai di Tanah Air, katanya, mencapai 2,6 juta ton per tahun, sedangkan produksi dari dalam negeri baru mencapai 850.000 ton per tahun. Untuk memenuhi kekurangan pasokan tersebut, harus didatangkan kedelai dari beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Brasil dan beberapa negara lainnya.

“Akan tetapi, ketika terjadi anomali cuaca di beberapa negara pemasok kedelai, kita akan terbelenggu karena harga jual kedelai naik,” katanya.

Mendag setuju untuk mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor tersebut, maka tingkat produksi kedelai di Indonesia harus ditingkatkan. Minimnya jumlah produksi kedelai di Tanah Air, karena harga jual kedelai lokal dinilai para petani terlalu murah dan tidak sebanding dengan biaya produksinya.

Belum lagi, petani sempat terpuruk setelah masuknya kedelai impor karena harga kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor yang lebih murah. Agar petani tertarik menanam tanaman kedelai, kata Gita, pemerintah harus turut berperan terutama menjamin kestabilan harga jual kedelai, khususnya ketika memasuki musim panen.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagio mengatakan, saat ini masih banyak lahan-lahan yang dikuasai oleh para spekulan. Hal ini membuat petani kesulitan memperoleh lahan dan menjadi hambatan peningkatan pangan, terutama kedelai. Apalagi, kedelai telah memasuki pasar bursa sehingga rawan permainan oleh para spekulan.

“Ironisnya, kenapa pemerintah tidak segera bertindak terhadap para spekulan ini,” kata Firman.

Dia menambahkan, masalah kelangkaan pengan di Indonesia sepertinya sudah menjadi tradisi setiap tahun menjelang lebaran. Parahnya lagi, kelangkaan selalu dibarengi dengan kenaikan harga. Sebagai solusi, ia meminta pemerintah segera merevisi UU Agraria.

"Dari tahun ke tahun masalah yang sama selalu terjadi. Salah satu solusi untuk pemerintah mungkin dengan merevisi UU Agraria,” ujarnya.

Tags: