Terpidana Uji Aturan Pidana Minimal Korupsi
Berita

Terpidana Uji Aturan Pidana Minimal Korupsi

Majelis panel menyarankan agar pemohon membaca putusan MK terkait pengujian pasal ini.

ash
Bacaan 2 Menit
MK gelar sidang perdana pengujian UU No. 31 tahun 1999 tentang Tipikor. Foto: ilustrasi (Sgp)
MK gelar sidang perdana pengujian UU No. 31 tahun 1999 tentang Tipikor. Foto: ilustrasi (Sgp)

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-undang (UU) No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya frasa “pidana penjara paling singkat 4 tahun.” Permohonan ini diajukan oleh terpidana korupsi, Herlina Koibur yang telah divonis bersalah selama 4 tahun oleh Majelis Kasasi MA sesuai pidana minimal yang diancam pasal itu.

"Ketentuan pidana penjara minimal selama 4 tahun sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) itu seperti yang dijatuhkankan kepada pemohon sangatlah tidak adil dan proporsional karena tidak sesuai peran pemohon dalam perkara korupsi yang didakwakan," kata kuasa hukum pemohon, Habel Rumbiak dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Hamdan Zoelva di ruang sidang MK, Jum'at (11/5).      

Selengkapnya, Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipudana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.”    

Habel mengatakan pemohon merasa dirugikan akibat berlakunya pidana minimal 4 tahun seperti ditentukan pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor itu. Sebab, aturan pidana minimal itu memasung jaksa dan hakim untuk menuntut dan menghukum seseorang tanpa mempertimbangkan kualitas peran perbuatan terdakwa.

“Termasuk perbuatan pidana pemohon yang tidak sesuai dengan kualitasnya, tetapi harus menjalani pidana 4 tahun yang dirasa tidak adil. Makanya pasal itu harus diuji demi keadilan substantif, kalaupun pemohon harus dihukum seharusnya dihukum sesuai proporsi perbuatannya,” katanya.  

Ia mengungkapkan pemohon adalah terpidana berdasarkan putusan MA No. 2526 K/Pidsus/2010 tanggal 9 Juni 2011 yang divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subdiside 2 bulan kurungan yang sama dengan putusan majelis Pengadilan Negeri Biak tanggal 17 Maret 2010. Namun, Majelis Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura menjatuhkan pidana yang lebih ringan yakni 2 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

"Pertimbangan, PT Jayapura meski terdakwa ditunjuk lewat SK Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Supiori sebagai pelaksana kegiatan, tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan itu, terdakwa tidak dilibatkan secara langsung sesuai fungsinya sebagai pelaksana kegiatan," kata Habel mengutip pertimbangan putusan PT Jayapura.      

Menurunya,perbedaan pendapat dalam lamanya pidana antara PT Jayapura dengan PN Biak dan MA mengakibatkan perlakuan tidak adil dan proporsional bagi pemohon. “Sebenarnya pemohon tidak keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan, asalkan sesuai proporsi dan peran perbuatan terdakwa dalam kasus itu. Hal jelas melanggar hak konsttitusional pemohon sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," tegasnya.

Karena itu, dalam petitummnya pemohon agar Mahkamah menyatakan frasa "pidana penjara paling singkat 4 tahun" dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor konstitusional bersyarat (conditionally constitusional). Dalam arti, sepanjang seseorang yang didakwa dan terbukti secara aktif melakukan Tipikor sesuai Pasal 2 ayat (1) layak dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun.

“Tetapi, jika seseorang yang didakwa dan terbukti tidak berperan secara aktif dapat dipidana di bawah 4 tahun penjara,” tuntutnya.

Menanggapi permohonan, anggota majelis panel hakim, Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan pemohon agar membaca putusan MK sebelumnya terkait pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor ini.

“Ini agar Saudara memperoleh gambaran soal putusan MK sebelumnya. Sesuai Pasal 60 UU MK, UU yang sudah diuji tidak boleh diuji lagi, kecuali dengan alasan berbeda,” kata Fadlil mengingatkan. “Saudara perlu menguraikan dalam permohonan dengan putusan MK sebelumnya, perbedaannya dimana?”

Fadli menuturkan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor yang digunakan untuk menjerat pemohon dalam perkara korupsi hingga akhirnya dipidana hingga pengadilan tingkat kasasi.

“Apa ini bukan persoalan implementasi pasal (kasus konkrit, red)? Kalau persoalan implementasi pasal ini tidak tepat diajukan ke MK. Ini harus dipikirkan kembali argumentasi konstitusionalitasnya agar berbeda dari permohonan yang pernah ada sebelumnya,” sarannya.

Tags: