KPK Gagas Zona Integritas di DPR
Berita

KPK Gagas Zona Integritas di DPR

Pimpinan KPK dinilai ‘kalah’ dengan bawahannya yang hanya level direktur.

ali
Bacaan 2 Menit
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: SGP
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: SGP

Saling kritik. Itulah salah satu kesan yang terlihat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di satu sisi, KPK menghendaki agar DPR berbenah untuk memperbaiki citra dewan, di sisi lain DPR balik mengkritik bahwa KPK juga harus bekerja secara profesional sebagaimana amanat undang-undang.

Awalnya, Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan Bambang Widjojanto memaparkan gagasan pengembangan kapasitas integritas di DPR. “Ada beberapa gagasan yang ingin  dikemukakan untuk memperbaiki citra DPR. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III DPR, Kamis (1/2).

Pertama, DPR sebaiknya memiliki aturan yang jelas mengenai conflict of interest bila ingin memperbaiki integritas yang dimilikinya. “Kalau ada mekanisme untuk mengkontrol conflict of interest ini akan dengan cepat meninggatkan integritas DPR. Masalah konflik kepentingan ini sebenarnya bukan hanya di DPR tetapi juga di lembaga lain. Ada yang perlu dibangun secara spesifik,” jelas Bambang.

Misalnya, persoalan post employment (pasca menjabat). Ia mencontohkan pegawai pajak yang pensiun. “Kapan dia boleh jadi konsultan pajak? Apakah boleh langsung atau harus cut off. Ini juga berlaku di DPR. Bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan sampingan di luar kerjaan core business-nya? Itu semua perlu diatur,” kata Bambang.

Sekedar mengingatkan
, sejumlah warga negara memang sedang mempersoalkan konflik kepentingan di DPR, khususnya di Komisi III. Mereka mengajukan judicial review UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD. Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan larangan rangkap jabatan dalam UU MD3 itu diperluas sehingga para anggota Komisi III yang berlatar belakang advokat tak lagi menggunakan namanya di lawfirm miliknya.

Kedua, memperluas wilayah Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Bambang berharap kewenangan yang dimiliki Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) beberapa waktu lalu bisa dihidupkan kembali, yakni melakukan pemantuan dan klarifikasi terhadap harta kekayaan penyelenggara negara.

“Kalau saja LHKPN ini dilengkapi dengan aturan yang lebih baik maka akan meningkatkan integritas lembaga, termasuk DPR,” ujarnya.


Dan, ketiga, Bambang berharap DPR menerapkan whistle-blowing system yang telah dibuat oleh KPK. Sistem ini akan membantu terungkapnya kebobrokan lembaga oleh orang dalam sendiri. “Alangkah baiknya bila DPR meng-instal whistle blowing system untuk meminimalisasi penyalahgunaan kewenangan. Beberapa kementerian sudah menerapkan sistem ini,” ujarnya.

Anggota Komisi III dari Partai Hanura Syarifuddin Sudding mengaku tertarik dengan konsep KPK yang ingin membangun integritas dengan tujuan meminimalisir tindak pidana korupsi di DPR.

“Salah satunya menghindari conflict of interest. Itu solusi baik, tapi teramat sulit dilakukan. Apalagi bila anggota yang terpilih masih ada hubungan transaksional dengan konstituennya,” ujar Sudding.


Meski begitu, Sudding menyarankan jangan hanya DPR membangun zona integritas, KPK juga harus menerapkan hal yang sama. Sudding mengatakan di KPK sendiri proses mekanisme ekspose perkara masih bermasalah, ketika perkara yang dari penyelidikan akan dinaikan ke tingkat penyidikan.

“Yang menentukan pada tahap ini adalah pimpinan dengan tim penyelidikan yang menangani perkara itu. Padahal, undang-undang hanya menyatakan yang mengambil keputusan adalah pimpinan. Bukan orang lain,” ujarnya.


“Boleh jadi di antara pimpinan dan orang di luar pimpinan KPK itu (penyelidik KPK) yang hadir dalam ekspose perkara juga memiliki conflict of interest terhadap perkara tersebut,” ujarnya.

Busyro sebelumnya memang menjelaskan bahwa ekspose perkara dilakukan secara terbuka. Di tahap ini, lanjutnya, pimpinan KPK tak bisa mengedepankan kehendaknya agar seseorang dijadikan menjadi tersangka, bila tim penyidik berpendapat lain.

“Penyidik tak akan terpengaruh. Di KPK sudah terbangun budaya kerja yang independen. Ini sudah ada sejak KPK jilid I dan jilid II. Ini yang kami pertahankan,” tegasnya.


Penjelasan ini yang diprotes oleh anggota Komisi III. Ahmad Yani, Anggota Komisi III dari PPP, menilai konsep seperti ini sangat kacau. Karena pimpinan KPK seakan ‘kalah’ oleh pegawai di level penyelidikan dan penyidikan.

“Yang diberikan kewenangan untuk memutuskan berdasarkan undang-undang itu kan pimpinan, bukan penyelidik atau penyidik,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait