DPR Diminta Luruskan Konsep UU Pokok Agraria
Berita

DPR Diminta Luruskan Konsep UU Pokok Agraria

Sejak 1960, pakar mengingatkan bila melihat isi undang-undang, seharusnya namanya UU Pertanahan, bukan UU Pokok Agraria.

Ali
Bacaan 2 Menit
DPR diminta luruskan konsep UU Pokok graria. Foto: SGP
DPR diminta luruskan konsep UU Pokok graria. Foto: SGP

Komisi II DPR mulai membahas revisi Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Sejumlah pakar mulai dihadirkan untuk berpendapat sebaiknya bagaimana revisi UU Pokok Agraria kedepan. Pembahasan memang belum berbicara materi secara detil, melainkan konsep besar mau dibawa kemana wacana revisi UU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR periode 2009-2014 ini.

 

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Maria Sumardjono menceritakan kisah ‘salah arah’ pembahasan UU Pokok Agraria yang disahkan pada 1960 lalu. Kala itu, sejumlah pakar –salah satunya Prof. Boedi Harsono- berpendapat bahwa seharusnya nama UU itu bukan UU Pokok Agraria. Melainkan UU Pertanahan. Namun, akhirnya perdebatan berakhir setelah Menteri Agraria tetap lebih sreg menggunakan istilah UU Pokok Agraria.

 

“Bayangkan, UU ini terdiri 67 pasal. Diantaranya, ada 53 pasal yang mengatur mengenai tanah. Jadi, ada contradictio in terminis. Seharusnya namanya UU Pertanahan,” jelasnya di ruang rapat Komisi II DPR, Rabu (12/10).

 

Lebih lanjut, Maria menjelaskan terminologi agraria secara hukum tak hanya berarti tanah, melainkan juga air dan ruang udara. Itu pengertian secara luas. Bila awalnya UU ini diniatkan untuk mengatur Ketentuan Pokok Agraria, seharusnya bukan hanya persoalan tanah saja yang diatur secara lengkap, tetapi juga persoalan air dan ruang udara.

 

“Itu bila kita mengingingkan UU ini sebagai UU Pokok yang menjadi sebuah sistem, yang kemudian membawahi sub-sistem (uu sektoral),” ujar Maria. Artinya, UU Pertanahan ini akan sejajar kedudukannya dengan UU sektoral yang lain seperti UU Kehutanan, UU Kelautan dan lain sebagainya. 

 

Karenanya, Maria menyerahkan sepenuhnya kepada para anggota dewan untuk meluruskan ‘salah arah’ ini. Ada dua pilihan yang ditawarkan. Pertama, cukup mempertahankan isi UU Pokok Agraria yang hanya mencakup hukum tanah saja, dengan konsekuensi mengubah namanya menjadi UU Pertanahan.

 

Atau, kedua, mengembalikan ruh awal UU Agraria yang isinya tak hanya mencakup tanah, tapi juga air dan ruang udara. “Saya hanya memberikan pilihan. Silakan bapak-bapak dan ibu-ibu memilih pilihan itu. Dua pilihan itu tentu ada untung ruginya,” jelas Maria.

Halaman Selanjutnya:
Tags: