Intelijen Bukan Aparat Penegak Hukum
Berita

Intelijen Bukan Aparat Penegak Hukum

RUU Intelijen terlalu mengarah ke masalah kelembagaan.

Mys
Bacaan 2 Menit
Erna Ratnaningsih, Ketua YLBHI kritik pemberian wewenang<br> pemeriksaan intensif kepada intelijen. Foto: Sgp
Erna Ratnaningsih, Ketua YLBHI kritik pemberian wewenang<br> pemeriksaan intensif kepada intelijen. Foto: Sgp

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono berpendapat bahwa petugas intelijen bukan aparat penegak hukum, sehingga tak bisa didudukkan sebagai lembaga penegak hukum.

 

Selama ini telah terjadi salah persepsi terhadap intelijen sehingga berpengaruh pada proses penyusunan RUU Intelijen. Persepsi inilah yang melahirkan pendapat bahwa intelijen harus punya bukti lebih dahulu sebelum menangkap seseorang. Dalam dunia intelijen, petugas tak perlu mendapatkan alat bukti lebih dahulu.

 

Menurut Hendropriyono, jika intelijen tetap dipersepsikan sebagai aparat penegak hukum, RUU Intelijen tak akan selesai. “Kalau selalu dikait-kaitkan dengan penegak hukum, RUU Intelijen tak akan jadi-jadi,” ujarnya saat berbicara dalam diskusi publik “Ancaman Terhadap Keamanan Nasional/Negara” di Jakarta, Selasa (31/5).

 

RUU Intelijen tengah dibahas Pemerintah dan DPR. RUU ini menjadi salah satu prioritas legislasi. Meskipun menjadi prioritas, Komisi I DPR tidak akan memaksakan diri mengejar target pengesahan pada Juli 2011. Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq mengatakan DPR memperhatikan suara yang berkembang di masyarakat.

 

Perdebatan tentang RUU Intelijen selama ini telah mengarah pada posisi aparat intelijen sebagai penegak hukum. Dalam hal penyadapan misalnya diusulkan agar petugas intelijen memiliki lebih dahulu bukti sebelum menyadap. Kalau dalam semua hal harus diverifikasi ke pengadilan, kata Hendropriyono, target keburu kabur sebelum berhasil ditangkap.

 

Kritik terhadap RUU Intelijen selama ini juga datang dari aktivis masyarakat sipil. Erna Ratnaningsih, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), misalnya, mengkritik pemberian wewenang pemeriksaan intensif kepada intelijen. Pengalaman menunjukkan kewenangan memeriksa intensif secara tertutup melahirkan aksi penculikan oleh aparat intelijen. Erna mengkhawatirkan penangkapan oleh aparat intelijen akan menabrak prinsip-prinsip yang diatur KUHAP.

 

Awal Mei lalu, Erna mengatakan penangkapan merupakan upaya paksa yang bisa dilakukan dengan syarat yang ketat. Penangkapan hanya bisa dilakukan untuk kegiatan projustisia dan oleh aparat penegak hukum. Jadi, adalah keliru jika intelien diberi wewenang menangkap orang.

 

Hendropriyono juga mengkritik materi RUU Intelijen saat ini yang –menurut dia—lebih mengarah pada kelembagaan BIN ketimbang mengatur dunia intelijen secara keseluruhan. Padahal intelijen negara bukan hanya di BIN.  “Seharusnya RUU ini memayungi semua kegiatan intelijen oleh semua lembaga negara, bukan hanya BIN,” imbuh pensiunan jenderal itu.

 

Aktivitas intelijen negara merupakan salah satu poin penting yang mendapat perhatian pada diskusi publik yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN). Dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan negara, peran intelijen memang sangat penting. Apalagi, kata IGP Buana, Direktur Pengkajian Hankam Lemhanas, ancaman terhadap keamanan negara semakin meluas. “Watak ancaman juga bergeser menjadi multi dimensional,” ujarnya.

 

Senada dengan Buana, Hendropriyono mengatakan ancaman keamanan nasional tidak lagi fisik. Keamanan nasional kontemporer kian abstrak. Perang masa kini sudah bersifat asimetris sehingga dibutuhkan operasi inteljen berpendekatan cerdas.

Tags:

Berita Terkait