Hakim Dinilai Khilaf, IPB Ajukan PK
Utama

Hakim Dinilai Khilaf, IPB Ajukan PK

IPB mengacu pada Pasal 225 HIR yang memperkenankan eksekusi diganti dengan ganti rugi sejumlah uang.

Latifah Kusumawardhani/Abdul Razak Asri
Bacaan 2 Menit
Rektor IPB Profesor Herry Suhardiyanto (kanan). Foto: Sgp
Rektor IPB Profesor Herry Suhardiyanto (kanan). Foto: Sgp

Kisah perkara susu formula berlanjut. Meskipun telah dinyatakan “kalah” di tingkat kasasi, Institut Pertanian Bogor (IPB) mengajukan upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali (PK). Diwakili kuasa hukumnya Edward Arfa, hari ini (18/5), IPB mendaftarkan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Dasar pengajuan PK, jelas Edward, bukanlah novum. Pihak IPB menilai terdapat kekhilafan hakim dalam Putusan MA tertanggal 26 April 2010 No 2975K/Pdt/2009. “Kali ini tidak ada novum, kami menganggap hakim khilaf dalam memeriksa dan memutus perkara,” ujarnya usai mendaftar.

 

Spesifik, Edward menunjuk pada pertimbangan putusan yang dibacakan majelis kasasi yang terdiri dari Harifin A Tumpa, I Made Tara, dan Muchsin. Menurut Edward, pertimbangan putusan kasasi bukan merupakan eksekusi riil sehingga tidak bisa dieksekusi paksa. “Ini hanya perbuatan hukum bukan eksekusi riil, IPB tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan putusan hakim,” ujarnya.

 

Mengacu pada Pasal 225 HIR, kata Edward, putusan yang bukan eksekusi riil bisa diganti dengan ganti rugi. Oleh karenanya, dia berkeyakinan Pasal 225 itu bisa melindungi IPB untuk tidak mempublikasikan hasil penelitiannya.

 

Pasal 225

Jika seorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukannya di dalam waktu yang ditentukan hakim, maka fihak yang menang dalam keputusan dapat memohonkan kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketua, baik dengan surat, maupun dengan lisan, supaya kepentingan yang akan didapatnya, jika putusan itu dipenuhi, dinilai dengan uang tunai, jumlah mana harus diberitahukan dengan tentu jika permintaan itu dilakukan dengan lisan, harus dicatat.

 

Karena mengemukakan perkara dalam persidangan pengadilan negeri yang menolak perkara itu menurut pendapatnya dan menurut keadaannya, atau menilai permohonan yang telah diperintahkan tetapi belum dijalankan, atau yang menilai di bawah permohonan yang dikehendaki pemohon dan dalam hal ini yang berhutang dihukum membayarnya.

 

Selain itu, Edward berpendapat kliennya, IPB, tidak memiliki kewajiban hukum untuk mempublikasikan hasil penelitian terkait produk susu formula yang mengandung bakteri Enterobacter sakazakii. “Tidak ada satu undang-undang pun yang mewajibkan IPB mempublikasikan hasil penelitiannya,“ ujarnya.

 

Terkait dengan permohonan sita eksekusi paksa yang diajukan penggugat David ML Tobing, Edward mengatakan hal itu adalah hak pemohon. Namun, dia bersikukuh tidak mau mempublikasikan hasil penelitian sebagaimana dituntut penggugat.

 

Ditemui secara terpisah, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syahrial Sidik membenarkan pernyataan Edward bahwa pengadilan hanya bisa melakukan eksekusi rill. “Perlu ditegaskan bahwa yang bisa dilakukan oleh pengadilan adalah eksekusi riil,” ujarnya.

 

Sejauh ini, Syahrial mengaku belum menerima permohonan sita eksekusi yang diajukan penggugat David ML Tobing. Namun demikian, Syahrial memastikan bahwa pengadilan tidak bisa melakukan sita eksekusi untuk memaksa IPB mempublikasikan hasil penelitiannya. Syahrial menambahkan pada perkara-perkara sebelumnya, pelaksanaan eksekusi yang bukan merupakan eksekusi riil diganti dengan ganti rugi sesuai dengan Pasal 225. 

 

“Permintaan ganti rugi diajukan pemohon, namun pengadilan akan menilai mengenai kepatutan dan kelayakan ganti rugi yang diminta oleh pemohon,” pungkasnya.

 

Dihubungi hukumonline, David ML Tobing menilai alasan IPB mengajukan PK salah kaprah. Menurutnya, Pasal 225 HIR adalah hak penggugat. Artinya, penggantian eksekusi dengan ganti rugi berupa sejumlah uang menjadi hak penggugat. “Jadi tergantung penggugat apakah ingin menggunakan hak tersebut atau tidak,” tegasnya.

 

Lagipula, lanjut David, Pasal 225 HIR hanya dapat diberlakukan jika upaya eksekusi telah dilakukan tetapi tidak berhasil. Menurutnya, eksekusi dapat dikatakan tidak bisa dilaksanakan jika memang benar-benar sudah ditempuh upaya paksa, di antaranya dengan bantuan alat kekuasaan negara.

 

“Jadi, di sini hakim tidak khilaf tetapi tergugat yang tidak mau menjalankan putusan kasasi, pengadilan harus bertanggung jawab atas putusan yang telah dikeluarkannya,” ujar David yang juga mendasarkan argumennya pada Buku II Pedoman Mahkamah Agung.

 

Yang menarik, kepada hukumonline, David juga mengutarakan niatnya mengajukan PK atas putusan kasasi. Namun, dia enggan membeberkan lebih lanjut tentang rencana PK tersebut. “Nantilah itu,” ujarnya singkat.

Tags:

Berita Terkait