Materi Muatan UU Pers Multiinterpretatif
Berita

Materi Muatan UU Pers Multiinterpretatif

Riset LBH Pers menunjukkan jaksa dan hakim sering tidak konsisten memandang penggunaan UU Pers.

Mys
Bacaan 2 Menit
Materi Muatan UU Pers Multiinterpretatif
Hukumonline

Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH) Pers belum lama ini meluncurkan hasil riset pemetaan awal kasus-kasus pers di Indonesia. Dengan mengambil dua belas kasus sebagai bahan kajian, LBH Pers menemukan fakta bahwa jaksa dan hakim sering tidak konsisten memandang penggunaan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dan seluruh mekanisme yang ada di dalamnya.

 

Misalnya, penggunaan mekanisme hak jawab dan hak koreksi. Dalam satu kasus, majelis hakim memandang hak jawab dan hak koreksi bukan sesuatu yang wajib dan penting, bahkan bisa diabaikan pihak yang merasa keberatan terhadap pemberitaan pers. Tetapi dalam putusan lain, hakim memandang penggunaan hak jawab dan hak koreksi adalah sesuatu yang asasi atau prinsipil, bukan sekadar mekanisme. Demikian pula dengan penggunaan KUHP atau UU Pers dalam dakwaan. Dari enam perkara pidana yang diteliti LBH Pers, lima diantaranya hanya menggunakan KUHP sebagai dasar menjerat terdakwa, dan hanya satu perkara dimana jaksa menggunakan UU Pers.

 

Perbedaan lain dapat dilihat pada penggunaan pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata untuk kasus perdata pers. Dalam gugatan Pemuda Panca Marga terhadap Tempo, dan perkara gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap Time, majelis hakim berpendapat bahwa pasal ganti rugi dan penghinaan dalam KUH Perdata itu tak bisa digabung. Sebaliknya, dalam putusan hakim tingkat pertama gugatan kelompok usaha Asian Agri terhadap Tempo, hakim berpendapat penggabungan itu dapat dimungkinkan berdasarkan ajaran perbuatan melawan hukum dalam arti luas.

 

Perbedaan pandangan aparat hukum mengenai mekanisme penyelesaian kasus pers bisa dipahami dari perspektif Undang-Undang Pers. Di mata Edward Aritonang, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, materi muatan UU Pers nyatanya bersifat multiinterpretatif. “UU Pers juga tidak jelas, multiinterpretatif,” ujarnya di sela-sela peluncuran riset LBH Pers tersebut pekan lalu.

 

Materi muatan UU Pers yang memberi ruang pada interpretasi ganda membuat penegak hukum tidak satu pandang melihat poin tertentu. Apalagi kalau dikaitkan dengan perdebatan apakah UU Pers merupakan lex specialis terhadap KUHP atau bukan. Karena itu, Edward berharap kalangan pers mau mendorong perubahan UU yang lahir masa awal reformasi itu. “Sudah selayaknya ditinjau ulang,” ujar perwira polisi bintang dua itu.

 

Namun di mata mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti, perbedaan respon dan putusan aparat penegak hukum berbeda-beda sesuai hasil riset LBH Pers bisa dipahami. Sebab, putusan hakim atau dakwaan jaksa, misalnya, tak semata-mata dipengaruhi hukum. Bambang percaya ada faktor-faktor non-hukum yang bekerja ketika pers begitu gampang diseret ke pengadilan akibat pemberitaan. Bila yang dihadapi pers adalah pengusaha kuat, Bambang percaya, faktor hukum tak akan bekerja sendiri menentukan suatu putusan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: