Islamisasi RUU KUHP Bukan Mau Menerapkan Hukum Islam
Berita

Islamisasi RUU KUHP Bukan Mau Menerapkan Hukum Islam

Rancangan Undang-Undang KUHP baru dinilai kental dengan pengaruh Islam. Tetapi tim penyusun menganggapnya sebagai mispersepsi. Butuh waktu lama untuk sampai pada tahap pengesahan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Islamisasi RUU KUHP Bukan Mau Menerapkan Hukum Islam
Hukumonline

 

"Lho, yang menyusun KUHP Prof. Sahetapy, yang beragama Kristen�Dia orang Kristen, bukan Islam. Kenapa dia susun seperti itu, saya pikir, Sahetapy benar," begitu omongan Yusril kepada wartawan majalah Forum Keadilan (edisi 26 Oktober 2003), yang juga dikutip Sahetapy dalam tulisan di Jawa Pos tersebut. Dan, rupanya, inilah yang membuat politisi PDI Perjuangan itu 'berang'.

 

"Betapa dangkal sikap dan pemikiran Yusril," tulis Sahetapy. Agama yang dia anut, tak ada sangkut pautnya dengan penyusunan RUU KUHP. Itu sebabnya, pada bagian akhir tulisan, Sahetapy berharap agar agama tidak disangkutpautkan dengan proses legislasi. Kalau mengkaji RUU KUHP, yang perlu dicermati adalah Scale of social values dalam arti luas. Perdebatan dengan rujukan religiositas boleh-boleh saja, tetapi bukan secara substantif.

 

Islamisasi?

Kegundahan dan kritikan Sahetapy bisa jadi dipicu perdebatan terbuka mengenai draft RUU KUHP. Adalah penjelasan Menkeh Yusril pada September lalu yang menjadi pemicu. Saat itu, Yusril mengatakan bahwa dalam merevisi KUHP, selain mengacu ke Belanda, juga akan mengadopsi hukum adat, konvensi internasional dan hukum Islam. 

 

Ironisnya, yang kemudian lebih mencuat adalah adopsi hukum Islam. RUU KUHP dipandang sebagai bentuk islamisasi KUHP. "Menyusun KUHP baru dengan mengedepankan agama tertentu sangat beresiko dalam masyarakat yang pluralis seperti Indonesia," tandas Robertus Robet, Wakil Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

 

Tudingan islamisasi itu memang menguat apalagi melihat latar belakang sang Menteri dan pembantunya. Yusril tidak lain adalah Ketua Umum Partai Bulan Bintang, sebuah partai yang mengusung agenda pemberlakuan Piagam Jakarta. Sementara di bawahnya ada Prof. Abdul Gani Abdullah, Dirjen yang mengurusi pembuatan perundang-undangan. Prof. Gani tidak lain adalah guru besar yang berasal dari komunitas Institut Agama Islam Negeri/IAIN (sekarang UIN). Tetapi argumen ini dengan mudah dipatahkan. Sebab, draft RUU KUHP sudah selesai disusun pada 1992, jauh sebelum Yusril dan Abdul Gani menjabat.

 

Namun, Dirjen Abdul Gani Abdullah mengakui adanya pengaruh Islam, sama seperti halnya hukum adat dan konvensi internasional. Ia berpendapat bahwa adalah wajar jika draft RUU KUHP dipengaruhi Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.

 

Sumber hukumonline menceritakan bahwa saat menyusun revisi KUHP, tim memang sengaja mengundang kalangan Islam untuk mendapatkan masukan. Bukan hanya akademisi Islam seperti M. Amin Suma, tetapi juga kalangan ulama. Sayang, belum diperoleh informasi ulama dan organisasi keagamaan mana saja yang dimintai masukan oleh tim.

 

Menurut Abdul Gani, selama ini telah terjadi salah pandang, mispersepsi atas isu Islamisasi RUU KUHP. Islamisasi KUHP tidak berarti menerapkan hukum Islam. "Selama ini ada salah paham," kata Gani kepada hukumonline, di sela-sela rapat Pansus RUU Integrated Justice System di Senayan, Senin (17/11) pekan lalu.

 

Menkeh Yusril Ihza Mahendra memberi contoh sederhana mengenai hal ini. Kata dia, Islam tidak mengenai sistem pidana penjara. Maka, sistem hukum Belanda-lah yang diadopsi.  

 

Islamisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia diakui atau tidak sebenarnya bukan barang baru. Sekedar menyebut, ada UU Zakat, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan yang sempat menimbulkan kontroversi massal UU Sistem Pendidikan Nasional. Terakhir, dan tampaknya akan menimbulkan pro kontra baru, adalah RUU tentang Kerukunan Umat Beragama.

 

Delik kesusilaan

Banyak pasal yang selama ini dianggap merujuk kepada konsep hukum Islam. Pengaruh Islam paling jelas terlihat pada pasal-pasal kesusilaan, khususnya perzinahan. Draft RUU malah memperkenalkan istilah baru bernuansa islami, yaitu pasal permukahan (overspel, adultry).

 

"Kami mengganti definisi perzinaan dari hukum Belanda ke hukum Islam," aku Yusril terus terang. Hasilnya? Semula pasal kesusilaan hanya sembilan belas (281-298), kini di RUU terdapat tiga puluh pasal (411-441). Pasal-pasal kesusilaan dirancang oleh dua anggota tim, Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief.

 

Menurut Prof. Andi Hamzah, anggota tim penyusun RUU, jika Jepang dan hampir seluruh Eropa telah mencabut delik permukahan dari KUHP mereka karena dipandang sebagai victimless crime, maka di Indonesia justeru diperluas. Selain memperjelas makna permukahan dan zina, ancaman pidananya pun dinaikkan dari maksimum 9 bulan menjadi lima tahun penjara.

 

Dengan konsep KUHP lama (yang sekarang berlaku), delik zina hanya bisa dikenakan kepada mereka yang salah satunya sudah menikah. KUHP tidak bisa menjerat perzinahan yang dilakukan oleh pasangan muda mudi atas dasar suka sama suka. Tetapi kini, dengan masuknya pasal baru, pasangan muda-mudi tadi bisa dipidana. Ini merupakan adopsi pandangan Islam mengenai zina. Tim penyusun memasukkan aturan ini, sebagaimana diakui Prof. Muladi, melihat dampak banyaknya muda-mudi yang hamil di luar nikah.

 

Pasal 420 RUU tegas menyebut "Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II". Tetapi pelaku tidak akan dituntut kecuali ada pengaduan dari anggota keluarga hingga derajat ketiga, kepala adat atau kepala desa setempat.

 

Masalah kesusilaan lain yang dinilai terpengaruh Islam adalah pasal-pasal tentang larangan kumpul kebo, homoseks, perkawinan sejenis dan pornografi. Tetapi dari segi hukuman, sama sekali tidak mengacu kepada hukum pidana Islam.

 

Tetapi harus diingat bahwa tidak semua anggota tim penyusun setuju dengan pasal-pasal susila tersebut. Pasal tentang larangan seks di luar nikah, misalnya, konon mendapat tentangan dari Prof. Andi Hamzah dan Prof. Sahetapy.

 

Andi Hamzah mengaku punya pengalaman menarik mengenai sikapnya menentang delik zina di luar nikah. Sewaktu tim penyusun meminta masukan dari sejumlah kalangan di aula Badan Pembinaan Hukum nasional (BPHN), Andi sempat dihujat dan ditunjuk-tunjuk oleh seorang ulama. Andi, yang berasal dari Bugis, dinilai bersikap aneh. "Anda adalah Islam Bugis, kok menentang larangan zina dan kumpul kebo," begitu tudingan sang ulama, seperti diceritakan kembali Andi Hamzah kepada hukumonline.

 

Pengaruh Islam tampaknya bukan hanya berkutat pada pasal susila, melainkan juga pembunuhan. Menurut konsep KUHP sekarang, seorang pelaku pembunuhan berat praktis dihukum karena dianggap merugikan seluruh masyarakat. Tetapi di Indonesia, kerugian lebih banyak dirasakan keluarga. Menurut konsep Islam, anggota keluarga korban pembunuhan punya andil menentukan hukuman kepada pelaku, atau justeru memberikan maaf.

 

Dalam tulisannya di milis Jaringan Islam Liberal (JIL) Nadirsyah Hosen menulis bahwa dalam pidana Islam, penerimaan dari keluarga korban dapat menggugurkan tuntutan pidana. "Unsur tobat dan maaf mendapat porsi yang cukup luas dalam pidana Islam," tulisnya.

 

Konsep maaf (afwan) ini memang sejalan dengan konsep al-Qur'an. "Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang yang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah ia mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ia memberi diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula�"

 

Jenis hukuman

Aktivis JIL Ulil Abshar Abdalla pernah mengajukan pertanyaan ini kepada ahli hukum pidana Prof. Achmad Ali: Apakah sanksi punitif berupa rajam dapat ditampung dalam KUHP baru? Ulil menanyakan hal itu dalam konteks perzinahan.

 

Guru Besar Universitas Hasanuddin itu jujur menyatakan bahwa sepengetahuan dia sanksi pidana dalam RUU KUHP tidak sampai sejauh sanksi rajam. Menurut aturan Islam, perbuatan zina memang dikenakan sanksi rajam.

 

Tetapi seperti dikatakan Abdul Gani Abdullah, pengaruh Islam dalam RUU KUHP tidak berarti hendak menerapkan hukum Islam. Buktinya, ya itu tadi, hukuman punitif versi Islam tidak diakomodir mentah-mentah ke dalam KUHP. Menurut Prof. Andi Hamzah, banyak di antara sanksi dalam RUU KUHP --terutama soal susila-- merupakan kompromi antara hukum Islam yang 'keras dan tegas' dengan hukum Barat yang 'ringan'.

 

RUU KUHP menganut dua sistem pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Diatur pada pasal 60, pidana pokok terdiri dari pidana penjara, pidana tutupan, pengawasan, denda dan kerja sosial. Sedangkan pidana tambahan meliputi pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat. Tetapi, patut dicatat, bahwa RUU masih mengenal pidana mati (pasal 61).

 

Tabel

Jenis-Jenis Hukuman Menurut Hukum Pidana Islam

 

No

Golongan hukuman

Jenis tindak pidana

Hukuman

Keterangan

1.

Hudud

-Zina

 

 

-Qadzaf (menuduh zina)

 

-Minum khamar

-Pencurian

-Hirabah (ganggu keamanan)

 

-Murtad

-Pemberontakan

          Dera 100 kali

          Pengasingan

          Rajam

Dera 80 kali

 

 

Dera 80 kali

Potong tangan

Hukuman mati, disalib, potong tangan dan kaki, pengasingan

Hukuman mati

Hukuman mati

Bagi yang belum menikah.

 

Ditambah tidak diterima menjadi saksi

 

 

2.

Qisas-Diyat

-Pembunuhan dengan sengaja

 

 

-Pembunuhan menyerupai sengaja

-Pembunuhan karena kesalahan

-Penganiayaan

-Menimbulkan luka krn kesalahan

Hukuman mati

 

 

 

Diyat

 

Diyat

 

Pembalasam setimpal

Diyat

 

Jika ahli waris mau, pelaku dapat dimaafkan dengan atau tanpa diyat

 

3

Kirafat

-Pembunuhan menyerupai sengaja

-Pembunuhan krn kesalahan

-Perusakan puasa

-Perusakan ihram

-Melanggar sumpah

-Menggauli isteri sewaktu menstruasi

-Menggauli isteri sesudah dhihar

Membebaskan hamba, memberi makan dan pakaian orang miskin, berpuasa

 

4

Ta'zir

Tindak pidana selain di atas

Hukuman mati, hukuman dera, kurungan, diasingkan, salib, pengucilan, ancaman, teguran, peringatan, denda

Tidak semua fuqaha setuju

 

Sumber : Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Islam dalam Konteks Modernitas, 2000, hal. 192

 

Tentu saja, konsep KUHP mengenai pemidanaan berbeda dengan hukum Islam. Dalam pidana Islam, demikian Topo Santoso dalam bukunya Menggagas Hukum Pidana Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan dan perbaikan. Sebagai perbandingan barangkali menarik untuk melihat jenis-jenis tindak pidana dan hukumannya menurut konsep Islam (lihat tabel).  

Lewat tulisan bertajuk "KUHP, Santet dan Zina" di harian Jawa Pos, edisi 18 November lalu, Sahetapy bermaksud meluruskan berita dari Kuningan. Apalagi kalau bukan soal Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, yang belum lama ini menjadi perdebatan panjang di media massa.

 

Sahetapy memang berkepentingan dengan draft tersebut. Selain pakar pidana dan anggota Komisi II DPR, ia juga pernah tercatat sebagai anggota tim penyusun RUU KUHP. Bahkan sepuluh tahun lalu, dialah yang ditugaskan (almarhum) Prof. Sudarto ke Belanda untuk melakukan kajian. Maklum, nenek moyang KUHP kita ya Wetboek van Straftrecht (WvS) Belanda.

 

Sebenarnya, sejak naskah RUU itu diserahkan oleh tim penyusun kepada Menteri Kehakiman (saat itu) Ismail Saleh, Prof. Sahetapy tidak pernah ikut lagi dalam proses penyusunan draft. Tetapi tiba-tiba, di tengah kontroversi RUU KUHP di media massa, Menkeh Yusril Ihza Mahendra menyebut-nyebut nama Sahetapy.

Halaman Selanjutnya:
Tags: