Tidak mudahnya mengubah pola atau gaya hidup masyarakat, menjadikan e-government ini berjalan tersendat. Di kalangan pemerintahan, LSM, dan pengusaha justru sangat menginginkan adanya kemudahan dalam mengakses informasi yang saat ini masih dimonopoli oleh pemerintah.
Namun apa mau dikata, dari 200 juta lebih jiwa hanya sekitar 2 juta jiwa yang saat ini bisa mengakses internet. Dan menurut data terakhir, hampir 70% pengguna internet melakukan koneksi melalui kantor. Belum ada data spesifik yang menunjukkan kebutuhan akan penyelenggaraan e-government di Indonesia.
Erry Riyana Hardjapamekas, anggota Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) mengemukakan bahwa penyelenggaraan e-government merupakan keharusan. "Tidak ada yang tidak setuju, dengan penyelenggaraan e-government di Indonesia," tambahnya.
Erry berpendapat bahwa kendala budaya merupakan bagian yang perlu dipikirkan. Di samping itu juga masalah infrastruktur yang sampai saat ini masih dimonopoli oleh PT Telkom. Di sisi lain, Erry melihat perlu adanya jaminan kepastian hukum atas penyelenggaraan e-government di Indonesia.
Namun, Erry sendiri mengkhawatirkan jika penyelenggaraan e-government ini justru melanggar privacy. Alasannya, apa yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) sangat berlebihan dan tidak ada penghargaan atas privacy seseorang.
Karena itu, sejak dini harus dipikirkan, apa dan bagaimana e-government yang akan dibangun di dalam pemerintahan. Pasalnya, bukan tidak mungkin justru e-government ini menjadi bumerang terhadap demokrasi yang menjadi salah satu tumpuan dari reformasi.
E-government adalah alat
Tidak sedikit pengusaha maupun politikus yang sudah mulai melirik dan hendak menggunakan e-government ini sebagai kendaran politik. Terutama, sejak Kementerian Komunikasi dan Informasi ini terbentuk di dalam Kabinet Gotong Royong.