Program Sunset Policy (Mungkin) Tidak Diperpanjang
Berita

Program Sunset Policy (Mungkin) Tidak Diperpanjang

Pemerintah berharap sunset policy dapat diperpanjang sampai 28 Februari 2009. PMK No. 66/2008 yang melegitimasi perpanjangan sunset policy, dinilai bertentangan dengan UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

CR-2
Bacaan 2 Menit
Program <i>Sunset Policy</i> (Mungkin) Tidak Diperpanjang
Hukumonline

 

Pemerintah melalui Departemen Keuangan menyambangi DPR Kamis (29/01) pekan lalu. Kedatangan pemerintah saat itu guna memberi keterangan seputar draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 5 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk menjadi undang-undang.

 

Dalam draf RUU tersebut, pemerintah bermaksud ingin memperpajang 'usia' program sunset policy, yang awalnya direncanakan selesai pada 31 Desember 2008 diperpanjang sampai 28 Februari 2009. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerimaan pajak negara selama ini masih didominasi oleh penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) yang berasal dari PPh Badan dibandingkan penerimaan yang berasal dari PPh Pribadi. Pada tahun 2008, peranan penerimaan PPh Badan terhadap realisasi penerimaan PPh Non Migas mencapai 77,11 persen, sedangkan peranan penerimaan PPh Pribadi hanya sebesar 22,89 persen.

 

Dari jumlah itu terlihat jelas, penerimaan PPh Badan dari sektor migas lebih besar ketimbang penerimaan PPh pribadi. Jumlah itu berbeda dengan negara-negara lain, dimana PPh Pribadi justru lebih besar ketimbang PPh Migas. Seperti di Amerika Serikat misalnya, kontribusi penerimaan PPh Badan adalah 15,09 persen, sementara PPh Pribadi 84,91 persen. Di inggris, penerimaan PPh Badan adalah 21,37 persen, sementara PPh Pribadi 78,63 persen. Sedangkan di Jepang, kontribusi penerimaan PPh Badan adalah 39,87 persen, sementara PPh Pribadi 60,13 persen.  

 

Di negara-negara yang sudah maju, peranan penerimaan PPh orang pribadi justru lebih besar daripada peranan penerimaan PPh badan. Hal ini sejalan dengan kesadaran akan kewajiban warga di negara-negara tersebut bahwa pembayaran pajak merupakan kewajiban konstitusional warga negara yang sejalan dengan cita-cita negara demokratis," kata Sri Mulyani.

 

Mungkin wajar jika PPh pribadi kecil, Soalnya, tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak orang pribadi di Indonesia selama ini masih dinilai kurang. Hal itu dikarenakan masih lemahnya mekanisme check and balance dalam kerangka sistem self assessment yang dianut dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia.

 

Selain itu, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat pajak dan administrasi perpajakan yang masih dianggap memiliki kinerja yang tidak baik dan bahkan mudah disuap, dan rendahnya pemahaman masyarakat akan penggunaan dan pemanfaatan uang pajak- akuntabilitas penggunaan uang pajak dan APBN secara umumnya, membuat jumlah penerimaan negara dari PPh pribadi sangat kecil.

 

Karena itu pemerintah menerapkan sunset policy dimana melalui fasilitas ini Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk menyampaikan atau membetulkan SPT tanpa pengenaan sanksi administrasi atas kewajiban perpajakan masa lalunya, kata Menkeu.

 

Melonjak

Pada awalnya, sunset policy belum berjalan mulus seperti yang diharapkan. Rata-rata pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru selama Januari-Sepetember 2008 hanya sebesar 4.747 per hari an sebesar 118.663 per bulan. Namun, jumlah pada 31 Desember 2008 jumlah pendaftar NPWP mengalami peningkatan yang tajam (lebih dari 3200 persen) hingga mencapai 163.255. Sementara itu seluruh bulan Desember 2008 jumlah pendaftar NPWP telah mencapai 1.573.995.

 

Bahkan hingga Januari 2009 jumlah masyarakat yang mendaftar untuk memperoleh NPWP juga masih sangat tinggi, yakni sebanyak 754.172 orang, kata Sri Mulyani. Karena itulah pemerintah berharap sunset policy dapat diperpanjang hingga akhir Februari tahun ini.

 

Tidak sampai distu saja. Dalam keterangannya Sri Mulyani terus meyakinkan anggota dewan untuk menyetujui program tersebut.  Data Desember 2008, SPT Tahunan PPh dalam rangka sunset policy yang diterima sebanyak 556.194 SPT dengan nilai pajak kurang bayar sebesar Rp5.559.127.029.298, dimana penerimaan SPT untuk Desember 2008 saja sebanyak 508.465 SPT.

 

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jumlah Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Sunset policy pada Desember 2008 mengalami lonjakan yang sangat fantastis dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, katanya.       

 

Selanjutnya, hingga 28 Januari 2009 SPT Tahunan PPh dalam rangka sunset policy sebanyak 156.759 SPT dengan nilai pajak kurang bayar sebesar Rp1.431.627.313.794. Bedasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa dalam bulan Januari 2009 pun minat Wajib Pajak untuk memanfaatkan perpanjangan fasilitas ini juga masih tinggi, ujarnya.

 

Ya, sejauh ini bisa dikatakan program sunset policy tidak sia-sia. Pada periode Januari sampai Desember 2008, program itu telah memberikan kontribusi sebesar 15,2 persen terhadap surplus penerimaan pajak tahun 2008. Hitungan ini bedasarkan perbandingan target penerimaan Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2008 sebesar Rp534,53 triliun. Sedangkan realisasi penerimaan mencapai Rp571,1 triliun sehingga terdapat surplus sebesar Rp36,57 triliun.

 

Bertentangan

Pemerintah boleh saja bangga  atas capaian tersebut. Namun keinginan pemerintah untuk memperpanjang masa berlaku sunset policy sepertinya rupanya menemukan hambatan. Malah, Anggota Komisi XI DPR Drajad Wibowo menyatakan bahwa sunset policy bisa ditolak sebelum akhir Februari dengan alasan batal demi hukum. Menurutnya, legalitas dari sunset policy sangat rancu sehingga bisa memunculkan reaksi penolakan dari berbagai kalangan.

 

Dia menjelaskan, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No. 66/2008 yang melegitimasi perpanjangan sunset policy dinilai bertentangan dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. PMK tersebut hanya memberi kewenangan penghapusan sanksi pajak sampai 31 Maret 2009. Sementara, UU KUP pasal 37 A (2) menyebutkan sunset policy hanya bisa diberlakukan maksimal 1 tahun, dari 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2008. "Setiap policy harus ada dasar hukumnya. Makanya, PMK No. 66/2008 itu sudah kebablasan dan itu harus diperbaiki terlebih dahulu," tegas Drajad.

 

Anggota Komisi XI lain Habil Marati mengatakan, esensi yang diperlukan pemerintah saat ini sebetulnya bukan memperpanjang program sunset policy melainkan menurunkan tarif pajak. Harus ada emergency policy dimana pemerintah harus melihat kondisi riil dengan cara menurunkan tarif pajak, katanya.

 

Lantas bukankah penurunan tarif pajak justru akan mengurangi penerimaan negara? Memang betul, kata Habil. Namun perlu diingat, penerimaan pajak tidak harus bertentangan dengan kepentingan sektor riil. Selama ini sektor riil banyak yang tidak bergerak, ujarnya. Kalau sektor riil sudah tidak bergerak maka penerimaan PPh Badan dan PPh Pribadi akan turun. Menurutnya, harus ada cut lost (pemotongan biaya pengeluaran) yang jauh lebih kondusif dalam rangka untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

 

Selain itu Habil tidak yakin bahwa program sunset policy bisa menambah penerimaan pajak dan menjadi obat agar negeri ini bisa keluar dari krisis. Ini yang saya ingin tahu, ujarnya. Bila tarif pajak diturunkan pasti banyak Wajib Pajak yang datang untuk membuat NPWP dan melaporkan semua asetnya dengan baik, kata anggota DPR F-PPP itu.

Sebut saja namanya Paijo, usia sekitar 40-an. Dia tukang nasi goreng yang biasa mangkal di belakang kantor Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Suatu ketika dia terlihat asik ngobrol dengan seorang pelanggan, yang saat itu kebetulan sedang makan nasi goreng buatannya. Mereka bukan membicarakan soal Depo Perrtamina di Plumpang yang baru saja meletus atau harga BBM yang telah turun. Namun, mereka sedang membicarakan soal pajak.

 

Susah kalau negara hanya mengaharap penerimaan dari pajak, kata Paijo sambil menghisap rokok kreteknya. Kalau kesadaran masyarakat untuk membayar pajak tidak ada, maka negara tetap miskin. Berbeda dengan Jepang, Cina, atau Korea. Ketiga negara itu bisa kaya tanpa mengandalkan sektor pajak, karena mereka pandai berdagang, sambungnya.

 

Habis mau gimana lagi, kata si pelanggan menimpali. Yang namanya negara pasti mewajibkan masyarakatnya untuk membayar pajak. Apalagi kalau bukan Indonesia. Kalau nggak bayar pajak ya nggak ada pembangunan, tambahnya.

 

Itulah sekelumit 'diskusi jalanan' antara Paijo dan pelanggannya. Paijo mungkin benar bahwa Indonesia bukanlah negara yang bisa mengadalkan sektor perdagangan untuk kelangsungan hidup. Pajak tetap menjadi sandaran sebagai modal pembangunan. Dan yang dikatakan si pelanggan juga tidak salah, tanpa pajak maka tidak ada pembangunan.

Tags: