Advokat Tak Boleh Sembarangan Pasang Iklan
Utama

Advokat Tak Boleh Sembarangan Pasang Iklan

Majelis Dewan Kehormatan Pusat Peradi menjatuhkan sanksi teguran keras kepada trio advokat yang memasang iklan pengumuman di koran demi kepentingan klien.

IHW
Bacaan 2 Menit
Advokat Tak Boleh Sembarangan Pasang Iklan
Hukumonline

 

Tapi Rifwaldi dkk tak menyangka pemuatan iklan itu berbuntut panjang. Saat perkara kliennya disidangkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, trio advokat itu malah dilaporkan ke Dewan Kehormatan Daerah Peradi DKI Jakarta. Sang pelapor adalah Direktur SGT, Dolly Siregar.

 

Menurut Dolly, tindakan pemuatan iklan pemanggilan oleh Rifwaldi dkk adalah sebuah pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). Awalnya Dolly membidik Rifwaldi dkk dengan Pasal 8 huruf (b) dan huruf (f) KEAI yang melarang pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian dan mencari publisitas bagi diri advokat.

 

Pasal 8 huruf (b) KEAI berbunyi Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan atau bentuk yang berlebih-lebihan.

 

Sementara Pasal 8 huruf (f) KEAI, Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.

 

Majelis Dewan Kehormatan DKI Jakarta pada April 2008 mengabulkan permohonan Dolly. Rifwaldi dkk dinilai melanggar Pasal 8 huruf (f) KEAI. Sanksi teguran keras dan biaya perkara sebesar Rp3,5 juta dialamatkan kepada ketiganya.

 

Putusan banding

Tak terima dengan putusan Dewan Kehormatan Jakarta, Rifwaldi dkk mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat Peradi. Rifwaldi dkk tetap berkeyakinan bahwa pemanggilan pihak SGT bukan tindakan yang melanggar hukum maupun kode etik. Sekali lagi kami tegaskan, pemasangan iklan itu bertujuan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan klien, kata Suryantara.

 

Namun majelis Dewan Kehormatan Pusat Peradi tak bergeming terhadap dalil Rifwaldi dkk. Majelis yang diketuai Agust Takarbobir –beranggotakan Yan Apul Girsang, Sugeng Teguh Santosa (keduanya mewakili profesi advokat), Hendardi dan Musdah Mulia (keduanya mewakili unsur masyarakat)- tetap memutuskan Rifwaldi c.s bersalah.

 

Majelis menilai tindakan pemanggilan melalui media massa dalam menyelesaikan kasus itu tak mencerminkan sikap advokat yang profesional. Tindakan para teradu adalah tindakan berlebihan, kata majelis, Selasa (27/1).

 

Menurut majelis, mengacu pada UU PPHI, jika perundingan secara bipartit menemui jalan buntu, maka Rifwaldi dkk bisa menempuh perundingan tripartit. Bisa melalui konsiliasi, arbitrase atau mediasi. Sehingga iklan koran itu tidak diperlukan.

 

Makrifat menyayangkan pertimbangan majelis yang seolah tak mengetahui prosedur berperkara yang diatur dalam UU PPHI. Sebelum mencatatkan perselisihan ke tripartit, kita harus punya bukti risalah perundingan bipartit yang menunjukkan bahwa perundingan itu gagal, katanya.

 

Penjelasan Makrifat sejalan dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPHI. Pada saat pencatatan perselisihan ke Dinas Tenaga Kerja harus dilampirkan bukti adanya upaya penyelesaian perselisihan secara bipartit. Pasal 4 ayat (2) UU PPHI malah memberi kewenangan kepada Dinas Tenaga Kerja untuk mengembalikan berkas yang tak dilengkapi bukti perundingan bipartit.

 

Atas putusan ini, Makrifat dengan berat hati menerimanya. Karena putusan ini sudah final, ya sudah kita terima. Tapi apa jadinya nasib advokat ke depan? Apakah ini berarti advokat tak boleh lagi mengumumkan melalui media massa dalam rangka menegakkan hak dan kepentingan kliennya?

 

Dissenting opinion

Putusan majelis dalam perkara ini sebenarnya tak bulat. Hendardi yang dikenal sebagai aktivis pejuang Hak Asasi Manusia itu memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Hendardi, pemuatan iklan pemanggilan oleh Rifwaldi dkk dapat dibenarkan karena bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan seorang advokat.

 

Kami mengapresiasi dissenting opinion pak Hendardi. Beliau saja yang bukan advokat bisa mengetahui bahwa apa yang kami lakukan adalah dalam rangka menegakkan prinsip hukum. Bukan yang lain, ujar Makrifat.

 

Soal aktivitas advokat dalam iklan pengumuman di media massa sebenarnya bukan hal baru. Berbagai iklan pengumuman seputar merek dagang atau HaKI yang lain, pembubaran, pailit atau perubahan badan hukum, atau bahkan soal klarifikasi suatu kasus yang sedang berjalan di persidangan acap kali kita temukan di berbagai media. Perang opini antara Peradi – KAI di media massa juga beberapa kali kita jumpai.

 

Leonard P Simorangkir, Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi punya argumentasi sendiri mengenai pertimbangan koleganya yang memutus perkara ini. Tak bisa disamakan iklan para teradu (Rifwaldi dkk, red) dengan iklan pengumuman yang lain yang sering ada di media massa, kata Leonard lewat telepon.

 

Advokat, kata Leonard, tak memiliki kapasitas untuk memanggil pihak tertentu. Yang punya kewenangan itu adalah pengadilan, ujarnya. Selain itu, Leonard menjelaskan bahwa pemanggilan perusahaan SGT melalui media massa sangat berpotensi menjadi bentuk pencemaran nama baik.

Rifwaldi Rivai M Noer, Suryantara dan Makrifat Putra tak pernah menduga ujungnya akan berakhir seperti ini. Gara-gara menangani salah satu perkara kliennya, trio advokat dari kantor hukum Rivai, Susantono & Partners (RSP) ini harus mendapat sanksi teguran keras dari majelis Dewan Kehormatan Pusat Peradi.

 

Saya tak habis pikir kenapa begini jadinya? Padahal kami dan advokat lain sering melakukan hal serupa, keluh Rifwaldi kepada hukumonline, Selasa (27/1) usai persidangan kode etik Dewan Kehormatan Pusat Peradi di Jakarta.

 

Kisah naas Rifwaldi dkk ini bermula ketika pada 2007 menjadi kuasa hukum pekerja PT Satyatama Graha Tara Appraisal (SGT). Saat itu ada seorang staf marketing yang meminta bantuan hukum Rifwaldi dkk untuk menggugat perusahaannya. Si pekerja merasa didzalimi hak-haknya sejak 2003. Si pekerja ini minta di-PHK karena tunjangan hak dan komisinya sebagai marketing tak pernah dibayar oleh perusahaan, kata Makrifat.

 

Sesuai prosedur yang berlaku dalam UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) No 2 Tahun 2004, Rifwaldi dkk berniat menyelesaikan masalah ini secara bipartit –antar pekerja dan pengusaha- terlebih dulu. Tapi berkali-kali surat resmi dan telpon dari Rifwaldi dkk tak pernah direspon. Pernah direspon sekali. Itu pun yang hadir Direktur keuangannya. Dalam pertemuan itu, si direktur mengaku tak punya kapasitas dan kewenangan untuk membicarakan masalah ini, kata Makrifat.

 

Setelah berdiskusi dengan klien, Rifwaldi dkk kemudian sepakat untuk membuat pengumuman di koran Kompas pada 29 Oktober 2007. Isinya pemanggilan kepada pihak perusahaan untuk bersedia merundingkan masalah ketenagakerjaan ini pada 2 November 2007. Hal ini semata kami lakukan untuk kepentingan hukum klien. Tak ada maksud lain, tambah Lusie Susantono, senior partner kantor RSP.

Halaman Selanjutnya:
Tags: