Cara Pengusaha Jasa Konstruksi Selesaikan Sengketa
Berita

Cara Pengusaha Jasa Konstruksi Selesaikan Sengketa

Pengusaha jasa konstruksi lebih memilih penyelesaian di luar pengadilan. Nyaris tak pernah terdengar perkara jasa konstruksi yang masuk pengadilan. Padahal, masyarakat juga punya hak gugat jika dirugikan oleh pelaksanaan konstruksi.

CRU/Mys
Bacaan 2 Menit
Cara Pengusaha Jasa Konstruksi Selesaikan Sengketa
Hukumonline

Kekurangan mendasar yang ada pada banyak pelaku industri jasa konstruksi di Indonesia adalah dalam hal klaim-klaim konstruksi dan hal-hal yang berkaitan  dengan penyelesaian sengketa konstruksi.

 

Ungkapan bernada keprihatinan itu terlontar dari Suryo Hapsoro Tri Utomo. Kalimat dari Ketua Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM Yogyakarta itu disampaikan saat mengomentari terbitnya buku Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi karya H. Nazarkhan Yasin.

 

Buku itu disusun Nazarkhan Yasin berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya selama puluhan tahun bergelut di bidang konstruksi. Termasuk mengurus kasus-kasus sengketa konstruksi ketika pria bergelar insinyur ini bergabung di kantor hukum Gani Djemat & Partners. Lantaran jarang pengacara atau insinyur yang menaruh perhatian terhadap aspek legal jasa konstruksi, jadilah buku karangan Nazarkhan sebagai buku must read dan buku yang memberikan sumbangsih tak ternilai bagi pemahaman klaim konstruksi dan penyelesaian sengketa konstruksi.

 

Jasa konstruksi merupakan entitas bisnis yang melibatkan banyak pihak. Intinya, jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Kota-kota besar dimana gedung pencakar langit bertebaran pastilah butuh jasa konstruksi.

 

Semakin kompleks suatu pelayanan jasa konstruksi, semakin besar kemungkinan klaim atau perbedaan pendapat yang melahirkan sengketa. Misalnya terjadi kegagalan bangunan. Pengusaha jasa konstruksi tidak berhasil merampungkan pembangunan gedung sesuai terminasi dan syarat-syarat yang disepakati. Pemesan gedung tentu saja bisa mempersoalkan kegagalan tersebut lewat jalur hukum.

 

Ada dua jalur yang lazim dipakai untuk menyelesaikannya: melalui pengadilan umum (gugat perdata) atau di luar pengadilan. Untuk jalur pertama, lewat pengadilan, jarang sekali terdengar ada sengketa konstruksi yang masuk ke meja hijau dan mendapat perhatian luas. Pernah diberitakan bahwa pemerintah Indonesia berniat menggugat perusahaan jasa konstruksi asal Malaysia, tetapi perkaranya lebih pada pengupahan. Tercatat pula gugatan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi terhadap Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah ke PTUN Semarang, tetapi persoalannya lebih pada tender pengadaan barang dan jasa. Atau sengketa Firma Biro Konstruksi "Tugas" dengan PT Dwipayana Semesta mengenai proyek konstruksi di Dumai yang bergulir di jalur kepailitan (lihat putusan MA No. 018 K/N/2004).

 

Sinyalemen minimnya sengketa konstruksi yang menggunakan UU Jasa Konstruksi sebagai acuan ke pengadilan diperkuat penjelasan Tumpal SP Sianipar. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo) itu menegaskan bahwa para pengusaha jasa konstruksi lebih memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pengusaha lebih mengedepankan musyawarah dengan pihak lain. Sebagai organisasi tempat bernaung pengusaha jasa konstruksi, Aspekindo acapkali bertindak sebagai penengah. Aspekindo sering menjadi mediator, ujarnya.

 

Jasa konstruksi merupakan salah satu bidang yang mengenal alternative dispute resolution. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mengatur dalam satu bab mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi. Para pihak yang bersengketa boleh memilih salah satu: pengadilan atau di luar pengadilan. Pilihan itu tergantung pada kesepakatan sukarela kedua belah pihak, kata Tumpal.

 

Jika kedua pihak sepakat menyelesaikan di luar pengadilan, maka yang bisa ditangani adalah masalah yang timbul dari kegiatan pengikatan (kontrak), penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan kegagalan bangunan. Untuk menyelesaikan sengketa demikian, kedua belah pihak bisa menunjuk pihak ketiga, baik dari unsur Pemerintah maupun Aspekindo. Di Aspekindo sendiri, kata Tumpal, ada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang bisa berperan sebagai penengah.

 

Penunjukan pihak ketiga sebagai penengah dapat diatur sebelum pelaksanaan konstruksi berlangsung, dalam arti pada taraf penandatanganan kontrak kerja konstruksi. Atau, ditunjuk setelah terjadi sengketa. Kalau penunjukan dilakukan setelah timbul sengketa, maka penunjukan pihak ketiga harus dituangkan ke dalam akte tertulis. 

 

Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 sebenarnya merujuk mekanisme arbitrase dan model alternative dispute resolution lainnya. Pada bagian penjelasan pasal 37 ayat (2) dipertegas lagi bahwa arbitrase yang dipakai bisa berupa lembaga permanen, bisa pula yang sifatnya ad hoc. Bisa lembaga arbitrase lokal, atau internasional. Selain arbitrase, UU Jasa Konstruksi tersebut juga memungkinkan sengketa konstruksi diselesaikan lewat mediasi, konsiliasi, atau bantuan penilai ahli.  

 

Yang jelas, kata Tumpal, pengusaha cenderung menghindari kasusnya dibawa ke pengadilan. Penyelesaian lewat mediasi atau alternatif lain dinilai lebih menekankan pada pendekatan kekeluargaan. Penyelesaian di luar pengadilan mungkin dipercaya lebih sempurna menghasilkan win-win solution. Kalau di pengadilan kan pasti ada yang dikalahkan ada yang dimenangkan, pungkas Tumpal.

 

Nazarkhan Yasin juga mencatat dalam bukunya bahwa selama bertugas menangani klaim konstruksi dan sengketa konstruksi, tidak kurang dari 15 kasus yang diselesaikan lewat Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan beberapa kali melalui arbitrase yang sifatnya ad hoc.

Tags: