Bagi Buruh, Kejamnya Ibukota Tak Sekejam Putusan Pailit
Berita

Bagi Buruh, Kejamnya Ibukota Tak Sekejam Putusan Pailit

Masalah 'klasik' kembali mencuat. Buruh PT. Sinar Apparel International cuma bisa 'gigit jari' melihat kurator membagi harta pailit kepada para kreditur lain?

IHW
Bacaan 2 Menit
Bagi Buruh, Kejamnya Ibukota Tak Sekejam Putusan Pailit
Hukumonline

 

Kepailitan PT SAI

Kekhawatiran mendapatkan hak yang hanya secuil itu kini sedang menghantui ribuan buruh PT Sinar Apparel International (SAI). Perusahaan garmen yang terletak di bilangan Cibitung, Bekasi itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (6/8).

 

Majelis hakim yang diketuai Ifa Sudewi mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh PT Coast Rejo Indonesia (CRI). Dalam permohonannya, CRI mendalilkan memiliki piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebesar AS$26.848 atau setara dengan Rp250 juta kepada SAI. Piutang sebesar itu muncul karena SAI belum membayar tagihan biaya benang CRI sejak April hingga Juni 2007.

 

Untuk 'mensukseskan' permohonannya, CRI menggandeng PT Aditya Makmur sebagai kreditur lain. PT Aditya Makmur yang bergerak di bidang penyewaan mesin jahit, mengaku memiliki tagihan kepada SAI sebesar Rp48 juta.

 

Berdasarkan permohonan dan fakta yang terungkap di persidangan, majelis hakim menganggap syarat dinyatakannya pailit terhadap debitur sudah cukup terpenuhi dalam perkara ini. Syarat adanya dua kreditur atau lebih dinilai terpenuhi dengan keberadaan CRI dan PT. Aditya Makmur. Syarat lainnya tentang salah satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, yaitu utang SAI kepada CRI dinilai telah terbukti secara sederhana.

 

Lebih jauh majelis hakim dalam putusannya menunjuk tiga orang kurator untuk mengurus harta pailit PT SAI. Selain itu, majelis hakim menyatakan Makmun Masduki sebagai hakim pengawas.

 

Bakal Gigit Jari?

Dihubungi melalui telepon, Asyikin, kuasa hukum PT SAI menyesalkan putusan hakim yang memailitkan kliennya. Tidak hanya terhadap majelis hakim. Asyikin juga mengaku kecewa kepada kuasa hukum CRI yang menolak mentah-mentah tawaran SAI untuk berdamai. Kami sempat mengajukan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, red) karena kami merasa masih bisa membayar utang kami kepada pemohon (CRI, red). Tapi pemohon menolaknya.

 

Tindakan kuasa hukum SAI menawarkan PKPU di dalam persidangan bukannya tanpa dasar. Asyikin menandaskan, walau perusahaan berhenti beroperasi sejak akhir 2007 lalu, aset perusahaan masih mencukupi untuk membayar seluruh utang perusahaan. Kalau dijual, masih bisa untuk melunasi seluruh utang perusahaan.

 

Disinggung mengenai apakah upah dan kompensasi PHK para buruh juga sudah diperhitungkan sebagai utang perusahaan atau tidak, Asyikin tidak bersedia berkomentar. Kalau tentang itu, saya belum bisa menjawabnya.

 

Dendy Suardi, Manajer Human Resource Development PT SAI angkat bicara mengenai isi 'dapur' perusahaan. Menurutnya, jika ditaksir, aset SAI saat ini bisa mencapai Rp10,2 milyar. Jika dibandingkan dengan utang ke CRI dan PT Aditya Makmur, aset perusahaan memang masih lebih dari cukup.

 

Masalahnya, SAI tak hanya berutang pada dua kreditur itu. SAI juga berutang kepada Cargo Plaza, Korean Exchange Bank, dan beberapa perusahaan lainnya. Pokoknya kalau ditotal utang kami kepada kreditur lain dan diperhitungkan dengan aset perusahaan, masih ada sisa lebihnya sedikit kok, ungkap Dendy.

 

Masalah lain yang muncul adalah Dendy ternyata belum menghitung utang perusahaan kepada para pekerja yang totalnya mencapai 1020an orang. Utang perusahaan kepada para pekerja terdiri dari upah yang belum dibayar, upah lembur dan kompensasi PHK. Upah pekerja termasuk juga upah saya, belum dibayar perusahaan. Jumlahnya mencapai Rp2,1 milyar.

 

Musrianto, Kepala Departemen Hukum dan Advokasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menuturkan bahwa gaji karyawan selama 3 bulan terakhir sebelum perusahaan berhenti beroperasi pada Mei 2008 belum terbayarkan. Totalnya mencapai Rp3,5 milyar. Belum lagi kompensasi PHK yang berdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan besarnya mencapai Rp15 milyar.

 

Perusahaan, sambung Musrianto, juga belum menyetorkan dana jamsostek yang berasal dari pemotongan gaji buruh sebesar 2 persen tiap bulannya selama dua tahun terakhir. Jumlah totalnya mencapai Rp1,1 milyar, Dendy mengaku.

 

Singkat kata, dengan aset perusahaan yang ditaksir bernilai Rp10,2 milyar, ternyata SAI memiliki utang yang totalnya bisa mencapai Rp37 milyar.

 

Bagi Rata?

Praktiknya, ketika seluruh aset perusahaan hanya bisa untuk membayar utang kepada negara atau utang kepada kreditur pemegang jaminan (separatis), kreditur lain termasuk buruh terpaksa gigit jari.

 

Dua orang peneliti Pusat Studi Hukum Kebijakan PSHK, Imam Nasima dan Eryanto Nugroho, menyatakan bahwa Pasal 39 Ayat (2) UU Kepailitan memang menempatkan pembayaran upah buruh sebagai hal yang harus didahulukan. Itu pun dengan catatan, yaitu ketika harta pailit masih tersisa setelah utang kepada negara dan kreditur separatis sudah dibayarkan terlebih dulu.

 

J. Johansyah, mantan Hakim Agung, dalam papernya berjudul ‘Kreditor Preferen dan Separatis Serta Tinjauan Penjaminan Utang' seperti pernah dikutip hukumonline,  menegaskan bahwa dalam kepailitan dikenal prinsip umum paritas creditorium. Artinya, semua kreditor mempunyai hak yang sama atas pembayaran dan hasil kekayaan debitor pailit yang dibayarkan secara proporsional menurut besarnya tagihan mereka.

 

Pada kesempatan lain, Tri Harnowo, peneliti pada Pusat Pengkajian Hukum (PPH) mengungkapkan, pada praktiknya, negosiasi setelah putusan pailit antara buruh dengan negara sebagai pemungut pajak dapat memecahkan kebuntuan mengenai antrean kreditur itu.

 

Menurut Tri, baik buruh maupun pajak sama-sama memiliki kelebihan masing-masing. Buruh memiliki kelebihan dengan pendudukan aset perusahaan pailit. Sementara petugas pajak bisa mengajukan sita. Siapa yang mau beli hasil pelelangan kalau aset sedang diduduki pekerja atau sedang berada di bawah sita negara, tambahnya saat itu.

 

Perjuangan Federasi Ikatan Buruh Sejahtera Indonesia (FISBI) dalam menggugat Undang-undang Kepailitan di Mahkamah Konstitusi masih berjalan. Mereka menuntut kepastian hukum terhadap perlindungan hak buruh saat perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit.

 

UU Ketenagakerjaan di satu sisi menegaskan hak apa saja yang melekat pada buruh ketika perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit. Salah satunya adalah Pasal 165 UU Ketenagakerjaan yang memerintahkan perusahaan membayar uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan sebagai kompensasi putus hubungan kerja karena perusahaan pailit.

 

Hak lain yang dimiliki buruh adalah ditempatkannya buruh di dalam posisi yang diistimewakan ketimbang utang lainnya. Hal itu tertuang tegas di dalam Pasal 95 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan berikut dengan Penjelasannya.

 

Faktanya, meski berada dalam posisi 'superior' berdasarkan UU Ketenagakerjaan, buruh acap kali ditempatkan paling belakang di dalam antrean kreditur saat harta pailit dibagikan oleh kurator. Hal itu terjadi karena UU Kepailitan, UU Hak Tanggungan, KUH Perdata memang lebih menempatkan kreditur lain, seperti utang negara dan pemegang hak tanggungan, lebih tinggi kedudukannya ketimbang buruh.

 

Maka kemudian tak heran jika berdasarkan UU Ketenagakerjaan, seorang pekerja yang putus hubungan kerjanya karena perusahaannya dinyatakan pailit, seharusnya bisa mendapatkan kompensasi PHK berjuta-juta rupiah. Tapi setelah kurator membagi-bagi harta pailit, si buruh itu hanya  mendapatkan uang sekian puluh ribu rupiah saja. Parahnya lagi, si buruh cuma bisa gigit jari.

Tags: