Tiba Saatnya Era Pemimpin Berbiaya Murah?
Berita

Tiba Saatnya Era Pemimpin Berbiaya Murah?

Mesin partai politik bukan jaminan kemenangan dalam pilkada. Sudah saatnya para pemimpin memenuhi kebutuhan rakyat.

Ycb
Bacaan 2 Menit
Tiba Saatnya Era Pemimpin Berbiaya Murah?
Hukumonline

 

Baru saja Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Beleid baru ini memungkinkan calon perseorangan maju dalam gelanggang pilkada. Menurut Sukardi, calon independen ini dapat makin menyemarakkan pilihan pada warga akan figur alternatif itu tadi. Ya, bisa jadi, ujarnya.

 

Bahan pembelajaran

Partai raksasa pun mengaku tak dapat merasa paling hebat. Tengok saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai banteng moncong putih ini sebelumnya meraup kemenangan dalam 10 pemilihan gubernur -dari 15 kali pilkada. Pilgub Jabar adalah putaran yang ke-16. Kami harus belajar dari kekalahan itu, ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat PDIP Pramono Anung di sela acara peluncuran buku itu. Pasangan Hade disokong oleh Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional. Sedangkan PDIP mendukung Agum.

 

Menurut Pramono, kekalahan tersebut lantaran besarnya jumlah penduduk yang tidak memilih alias golongan putih (golput). Kedua, banyak pemilih yang memang dari awal belum menjatuhkan pilihan. Baru detik terakhir mereka berpaling kepada Hade, tuturnya.

 

Pramono tetap yakin, faktor penentu kemenangan calon kepala daerah adalah kinerja mesin politik alias partai pengusung kandidat. Kedua, tentu saja sosok si kandidat itu sendiri. Kalau dua hal itu terpenuhi, saya yakin kami bisa bertanding. Namun, dengan melihat hasil di Jabar, kita perlu sentuhan lain, timpalnya.

 

Soegeng Sarjadi, pengusaha yang mendirikan institut SSS, hendak melengkapi pandangan Sukardi. Menurut Soegeng, para pemimpin jangan terpatok pada target-target yang bersifat materi semata. Bukan pemerintah yang menciptakan lapangan kerja. Melainkan khalayak bisnis sendiri. Inflasi yang terkendali atau pertumbuhan ekonomi jangan dijadikan sebagai patokan keberhasilan, tuturnya.

 

Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X sepakat dengan Soegeng. Pendekatan pemerintah saat ini, ekonomi memang menjadi panglima, tukasnya. Menurutnya, pemimpin jangan sampai melupakan dimensi kebudayaan dan spiritualitas.

 

Oleh karena itu, sambung Sukardi, tugas pemimpin tak cukup hanya dengan memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, serta kesehatan yang terjangkau. Lebih jauh dari itu, pemimpin baru kudu bisa mengubah karakter melodramatik itu. Dia harus melakukan character building bangsa.

 

Menteri Sekretaris Negara era Orde Baru, Moerdiono, berpendapat pemerintah memang harus mendengarkan suara rakyat. Pemimpin harus memperhatikan orang kecil, ujar Moerdiono. Namun, ia juga mengingatkan, tugas dan kerja pemimpin memang berat. Lebih enak jadi kritikus, selorohnya.

 

Nah, jika calon pemimpin berniat belajar, tak ada salahnya menyerap saran Sunardi, Soegeng, Sri Sultan, serta Moerdiono. Memang seharusnya, seorang pemimpin dekat di hati rakyat. Dan untuk meraih simpati rakyat, rupanya tak perlu biaya mahal bukan?

 

Politik uang dan desing mesin politik alias partai gede. Nampaknya dua modal itu yang diyakini hingga kini sebagai faktor penentu keberhasilan dalam panggung pemilihan umum. Demikian halnya di tingkat daerah -alias pemilihan kepala daerah (pilkada). Mau contoh? Lihat saja Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun lalu. Pasangan Fauzi Bowo – Prijadi mendapat beking dari lima belas partai. Walhasil, mereka menggilas kompetitor yang hanya disokong oleh partai kecil, Adang Darajatun – Dani Anwar.

 

Namun, premis tersebut seolah berputar 180 derajat tatkala publik terkesima oleh hasil Pilgub Jawa Barat. Pasangan Ahmad Heryawan – Dede Yusuf (Hade) rupanya mampu menggulung dua duet lainnya: Agum Gumelar – Nu'man Abdul Hakim serta Danny Setiawan – Iwan Sulanjana. Tengok pula hasil Pilkada Kabupaten Tangerang. Ismet Iskandar – Rano Karno membalik prediksi yang menjagokan Jazuli Juwaini – Airin Rachmi Diany. Atau, kasus teranyar pilkada di Sumatera Utara, dimana jago-jago partai besar seperti PDIP dan Golkar tumbang.

 

Tren baru inilah yang sedang direnungkan oleh pakar politik dari lembaga kajian Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Sukardi Rinakit. Cak Kardi -demikian dia karib disapa- mengutarakannya dalam acara peluncuran bukunya yang berjudul Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare), di Hotel Four Season Jakarta, Rabu (16/4).

 

Sukardi menyebut fenomena anyar itu budaya tanding. Hal ini lantaran sifat masyarakat kita yang melodramatik. Artinya, suka mengharu-biru, berdaya ingat pendek, serta mudah bosan. Jika incumbent (pemimpin yang masih berkuasa) pendiam, mereka akan memilih calon yang banya bicara. Jika ia tak tegas, maka mereka menginginkan figur baru yang tegas, tuturnya.

 

Lahirnya budaya tanding lantaran sifat melodramatik inilah, menurut Sukardi, harus diwaspadai oleh partai politik (parpol) besar. Parpol raksasa harus membenahi strategi dan rekrutmen kader. Tanpa langkah tersebut, konsolidasi demokrasi akan bergerak lambat. Wajah lama bisa digeser oleh wajah baru, calon alternatif yang diusung oleh partai kecil, imbuhnya. Nah, sisi positifnya, money politic dapat ditekan lantaran berbiaya murah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: