Pengawasan Pemilu Belajar dari Pengalaman 2004
Berita

Pengawasan Pemilu Belajar dari Pengalaman 2004

Pengawasan tidak hanya diberlakukan terhadap penyelenggara Pemilu, tetapi juga terhadap lembaga pengawas Pemilu.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Pengawasan Pemilu Belajar dari Pengalaman 2004
Hukumonline

 

Sementara, untuk tindak pidana Pemilu, Panwaslu mencatat dari 2.413 kasus yang diteruskan ke Kepolisian hanya 1.253 kasus yang dilimpahkan ke Kejaksaan. 1.065 diantaranya berhasil dibawa ke pengadilan, dimana 85% terdakwanya dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. Sebagai perbandingan, pada Pemilu 1999 hanya empat vonis kasus pelanggaran Pemilu yang tercatat.

 

Tindak Pidana Pemilu 2004

(per Tahapan)

Pemilu Legislatif

Pemilu Presiden/Wapres

Tahapan

Jumlah Kasus

Tahapan

Jumlah Kasus

Kampanye

1203

Kampanye

152

Verifikasi Caleg

1186

Pemungutan dan perhitungan

106

Pemungutan dan perhitungan

594

Pendaftaran pemilih

16

Verifikasi calon peserta Pemilu

170

 Sumber: Data Perludem

 

Lebih lanjut, Topo memaparkan permasalahan pengawasan Pemilu 2004 juga diperparah dengan adanya kekososongan, kekurangjelasan dan tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terkait Pemilu. Selain itu, tidak adanya mekanisme menguji suatu keputusan penyelenggara Pemilu secara obyektif dan terbuka. Selama ini kasus pelanggaran KPU yang merugikan kontestan Pemilu banyak terjadi tetapi hanya dikualifikasi sebagai pelanggaran administrasi, imbuhnya.

 

Menurut Topo, keputusan penyelenggara Pemilu tidak semestinya dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi. Pihak yang dirugikan seharusnya berhak menggugat atau mengajukan keberatan ke pengadilan seperti halnya tindak pidana Pemilu. Oleh karenanya, kerangka hukum Pemilu harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap UU Pemilu, pungkasnya.

 

Anggota Pansus Pataniari Siahaan berpendapat dalam rangka mewujudkan pengawasan yang efektif maka perlu ada klasifikasi pelanggaran Pemilu yang jelas. Klasifikasi ini kemudian diikuti dengan lembaga mana yang berwenang menangani pelanggaran tersebut. Dengan klasifikasi dan pembagian kewenangan yang jelas, maka tidak akan terjadi benturan kewenangan antar lembaga seperti KPU dengan Panwaslu.

 

Sementara itu, Patrialis Akbar mengatakan pengawasan yang efektif tidak hanya berlaku pada penyelenggaraan Pemilu, tetapi juga lembaga pengawas. Pendapatnya ini didasari pada fakta di lapangan banyaknya lembaga pengawas yang bertindak sewenang-wenang, khususnya terjadi di daerah. Panwas di beberapa daerah justru mematikan demokrasi karena mereka tidak paham akan tugasnya, ujar anggota DPR dari F-PAN ini.

 

Penyelenggaraan Pemilu yang sukses adalah idaman semua elemen bangsa ini. Banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa sukses sebuah penyelenggaraan Pemilu, mulai dari bagaimana outputnya sampai seberapa banyak kasus-kasus pelanggaran yang terjadi dan bagaimana penanganannya. Semakin sedikit kasus pelanggaran yang terjadi berarti semakin sukses Pemilu. Untuk menjamin hal itu terjadi tentunya diperlukan sistem pengawasan dan penindakan yang efektif.

 

Dalam rangka itu, Rabu (18/7), Pansus B DPR yang tengah meramu RUU Pemilu Legislatif dan RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menggelar RDPU dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Didirikan pada 29 November 2004, Perludem adalah organisasi yang jajaran kepengurusannya didominasi oleh para mantan punggawa Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) 2004.

 

Ada banyak beda penafsiran antara KPU, Panwaslu, peserta pemilu, pemerintah dan aparat penegak hukum, khususnya yang berkaitan dengan klasifikasi pelanggaran aturan-aturan Pemilu, kata Topo Santoso, Wakil Ketua Perludem, memulai pemaparan.

 

Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, perbedaan penafsiran adalah salah satu pangkal masalah tidak efektifnya penindaklanjutan kasus-kasus pelanggaran Pemilu. Seringkali Panwaslu mendapati pelanggaran tetapi kemudian dimentahkan karena KPU berpendapat sebaliknya. Perbedaan penafsiran juga sering terjadi dalam mengkualifikasi apakah sebuah pelanggaran Pemilu dipandang sebagai pelanggaran administrasi belaka atau sudah masuk kategori tindak pidana.

 

Untuk memperkuat argumen, Topo menyodorkan data berdasarkan pengalaman Panwaslu pada Pemilu 2004. Ketika itu, Panwaslu mencatat KPU/KPUD hanya menyelesaikan 2.822 dari 8.013 kasus pelanggaran administrasi yang diteruskan Panwaslu. Sebenarnya, Panwaslu sendiri kurang yakin terhadap keakuratan data tersebut karena bisa jadi KPU/KPUD telah menyelesaikan lebih banyak kasus. Hanya saja karena tidak ada mekanisme dan prosedur baku dalam penanganan kasus pelanggaran administrasi, pengawas pemilu pun tidak tahu pasti berapa sesungguhnya kasus yang benar-benar diselesaikan, ujar Topo.

Tags: