Kreditur dapat menuntut kepada hakim agar benda gadainya dijual dengan cara selain lelang. Atau, kreditur dapat meminta kepada hakim agar ia diperkenankan memiliki benda gadai untuk suatu harga yang ditentukan hakim untuk kemudian diperhitungkan dengan utang debitur.
Kata ‘menuntut di muka hakim (vorderen), menurutnya tidak mungkin diterjemahkan dengan menggugat. Jikalau kreditur harus memulai dengan menggugat, maka hal ini bukanlah eksekusi sederhana padahal itulah maksud penyusun KUHPerdata.
Satrio juga menekankan bahwa hak kreditur untuk menuntut penjualan selain lelang bersifat melekat dengan hak gadai itu sendiri yang telah dimiliki setiap pemegang gadai. Lebih jauh, hak itu sifatnya imperatif dan tidak dapat disimpangi dalam perjanjian gadai.
Pada waktu Belanda melakukan perubahan perundang-undangan, kata vorderen (menuntut) diganti dengan op verzoek (atas permohonan). Saya harus mengakui bahwa Indonesia tidak mengikuti perubahan itu, tapi yang namanya undang-undang tidak jatuh dari langit. Dia merupakan perbaikan pelaksanaan lebih lanjut, kristalisasi daripada yurisprudensi. Dari sana, saya melihat kata vorderen bukan diartikan menggugat debitur begitu paparnya.
Pasal 1155 (1) KUHPerdata
Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janji dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangwa waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual barang gadainya di hadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu.
|
Pasal 1156 (1) KUHPerdata
Dalam segala hal, bila debitur atau pemberi gadai lalai untuk melakukan kewajibannya, maka debitur dapat menuntut lewat pengadilan agar barang gadai itu dijual untuk melunasi utangnya beserta bunga dan biayanya, menurut cara yang akan ditentukan oleh hakim, atau agar hakim mengizinkan barang gadai itu tetap berada pada kreditur untuk menutup suatu jumlah yang akan ditentukan oleh hakim dalam suatu keputusan, sampai sebesar utang beserta bunga dan biayanya
|
Sumber: HImpunan Peraturan Perundangan RI Englebrecht:1989
Pendapat senada diungkapkan oleh Maria Elisabeth Elijana. Mantan hakim pengadilan tinggi yang juga dosen Unika Atmajaya ini berpandangan bahwa kalimat menuntut di muka hakim dalam Pasal 1156 KUH Perdata diartikan dengan mengajukan permohonan bukan gugatan.
Ia merujuk pendapat Prof. Wiryono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda dan Prof Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata. Kedua tokoh yang dijadikan resensi dari pendapatnya ini pernah menjabat sebagai Ketua MA, sehingga tidak perlu disangsikan lagi keahliannya.
Rujukan penting lainnya adalah pendapat Mahkamah Agung sendiri dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I MARI terbitan Agustus 1993 yang hingga kini masih berlaku. Di situ disebutkan bahwa kreditur pemegang gadai dalam mempergunakan Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata, maka cukup mohon izin hakim. Jadi jelas, kalau mohon ijin hakim itu bukan gugatan, begitu ujarnya.
Ditambahkannya, jika kreditur pemegang gadai harus menggugat terlebih dahulu kepada hakim, maka kedudukan kreditur pemegang gadai turun kedudukannya menjadi kreditur konkuren. Belum lagi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan dari tingkat pertama hingga kasasi.
Menurutnya, hal ini tidak sejalan dengan nafas dari Pasal 1155 KUH Perdata yang memberikan pelaksanaan eksekusi yang sederhana bagi kreditur pemegang gadai.
Dalam praktek perbankan, pelaksanaan eksekusi gadai masih menimbulkan pemahaman berbeda. Salah satu simpang siur eksekusi gadai terletak pada interpretasi kalimat menuntut di muka hakim dalam Pasal 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Seharusnya ketentuan itu diartikan sebagai pengajuan permohonan dan bukan gugatan. Demikian pendapat J. Satrio Dalam seminar Aspek Hukum Jaminan Dalam Corporate Financing oleh Perbankan di Indonesia yang digelar Jurnal Hukum & Pembangunan di Kampus FHUI Depok (17/7). Notaris/PPAT yang telah menulis 19 buku bidang hukum ini terlebih dahulu memaparkan konsep parate eksekusi dalam Pasal 1155 KUHPerdata.
Menurutnya, pada dasarnya, kreditur pemegang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan parate eksekusi atas benda gadai. Parate eksekusi sangat sederhana, pelaksanaannya tak perlu melibatkan juru sita dan tanpa campur tangan pengadilan dan bahkan juga tanpa perlu titel eksekutorial. Doktrin menggambarkannya seperti orang yang menjual harta miliknya sendiri begitu tutur Satrio.
Satrio menambahkan ketentuan ini sifatnya menambahkan (aanvullend). Karenanya, bisa saja para pihak sepakat mengenyampingkan hak parate eksekusi ini.
Lebih lanjut, urainya, pembentuk undang-undang beranggapan melalui lelang akan diperoleh harga pasar yaitu harga yang berlaku di masyarakat. Namun, jika benda gadai tidak mempunyai harga pasar dan sulit mendapatkan pembeli atau harga yang pantas dalam lelang, KUHPerdata memberi dua opsi.