Perlindungan Konsumen di Indonesia Belum Menggembirakan
Utama

Perlindungan Konsumen di Indonesia Belum Menggembirakan

BPKN saat ini tengah melakukan kajian terhadap UU Perlindungan Konsumen untuk melihat kemungkinan mengamandemen UU tersebut.

CR-3
Bacaan 2 Menit
Perlindungan Konsumen di Indonesia Belum Menggembirakan
Hukumonline

 

Kelemahan UU

Wakil Ketua BPKN Tini Hadad menambahkan buruknya kondisi perlindungan konsumen lebih disebabkan oleh kelemahan sistem. Kelemahan tersebut, lanjut Tini, diantaranya dapat dilihat dari lemahnya koordinasi antara departemen atau lembaga, misalnya dalam menerbitkan peraturan yang terpadu.

 

Disamping itu, Tini juga berpendapat UU Perlindungan Konsumen yang ada sekarang yakni UU No. 8/1999 masih mengandung sejumlah kekurangan. Sebagai contoh, Tini menyoroti pengaturan mengenai kewenangan BPKN yang dinilai masih setengah hati karena hanya memberikan kewenangan kepada BPKN sebatas memberikan rekomendasi.

 

 

 

 

Kewenangan BPKN menurut UU No. 8/1999

a.              memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;

b.              melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;

c.              melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;

d.              mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

e.              menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

f.               menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;

g.              melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

 

 

Saya rasa itu belum cukup. Kalau BPKN diharapkan dapat melindungi kepentingan konsumen maka seharusnya kewenangannya lebih dari itu, ujarnya. Menurut Tini, selama satu tahun berdiri sejak November 2004, BPKN baru satu kali mengirim surat kepada Presiden, yakni terkait kasus Bank Global.

 

Menyikapi kelemahan UU, Tini menginformasikan saat ini BPKN tengah mengkaji UU No. 8/1999 secara intensif. Kita sedang melihat kemungkinan amandemen UU Perlindungan Konsumen, tambahnya.

 

Perbandingan

Sebagai perbandingan, penasihat Consumers International Asia Pacific Office Sothi Rachagan, misalnya, mencontohkan sistem penyelesaian perkara perlindungan konsumen yang diterapkan di Malaysia. Menurut Sothi, yang terjadi di negeri jiran saat ini sangat mengandalkan sistem penyelesaian di luar pengadilan apabila terjadi sengketa antara produsen atau pelaku usaha dengan konsumen.

 

Salah satu jalur penyelesaian di luar pengadilan yang dimaksud adalah Financial Mediation Bureau (FMB) yang menangani kasus-kasus perbankan. Sothi menilai model penyelesaian seperti FMB memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan proses pengadilan, yakni berupa keterlibatan kedua belah pihak, baik pengusaha maupun konsumen dalam struktur FMB.

 

Model ini berjalan dengan baik di Malaysia. Prosesnya juga berjalan dengan cepat dan kepentingan para pihak dapat diakomodir, ujar Sothi yang juga tercatat sebagai Vice President Nilai International College.    

Dalam acara Lokakarya International Advokasi Kebijakan Perlindungan Konsumen di Indonesia: Belajar dari Negara-Negara Tetangga (19/12), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyatakan setidaknya ada beberapa indikator yang menggambarkan betapa memprihatinkannya kondisi perlindungan konsumen di Indonesia. Pertama, adanya fakta masih terabaikannya hak-hak dasar warga negara, baik itu hak ekonomi, hak sosial, maupun budaya.

 

Indikator yang pertama diantaranya dapat disimpulkan berdasarkan masih sulitnya masyarakat mendapatkan kebutuhan dasar mereka di bidang kesehatan dan pendidikan, serta fasilitas publik seperti air, BBM, listrik dan telepon. Kedua, tidak jelasnya sejumlah kasus-kasus pelanggaran konsumen yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan perusahaan go public.

 

Secara spesifik, YLKI menyoroti dua kasus besar yang mereka tangani yang hingga kini belum jelas penyelesaiannya, yakni kasus pengembalian dana nasabah Bank Global dan kasus Bukit Sentul. Kasus Bank Global adalah seputar pengembalian dana nasabah akibat penutupan bank tersebut. Sementara, kasus Bukit Sentul adalah perseteruan dimana pembeli merasa hak-haknya tidak terpenuhi oleh developer sebagaimana yang dijanjikan.

 

Diluar lemahnya penegakkan hukum, baik BPKN maupun YLKI, berpendapat ada empat faktor yang menyebabkan kondisi perlindungan konsumen di Indonesia begitu memprihatinkan. Pertama, masih adanya hubungan asimetris antara produsen dengan konsumen. Kedua, konsumen secara umum tidak memiliki posisi tawar yang cukup terhadap pelaku usaha.

 

Ketiga, pemerintah secara umum cenderung berpihak kepada pelaku usaha. Keempat, tidak adanya rasa kepedulian yang cukup dari institusi penegak hukum yang ada, baik itu kejaksaan, pengadilan maupun kepolisian.

Halaman Selanjutnya:
Tags: