Pemilik Kapal tidak Layak Dipersalahkan dalam Kasus Illegal Logging?
Berita

Pemilik Kapal tidak Layak Dipersalahkan dalam Kasus Illegal Logging?

Keabsahan penahanan kapal-kapal penangkut kayu illegal dan nahkoda oleh aparat penegak hukum menjadi pokok perdebatan antara hakim, ahli dan pemohon.

Mys
Bacaan 2 Menit
Pemilik Kapal tidak Layak Dipersalahkan dalam Kasus Illegal Logging?
Hukumonline

 

Penahanan kapal oleh aparat merugikan pemilik kapal. Apalagi jika nahkoda yang paling dipersalahkan dan dipenjara gara-gara mengangkut kayu illegal. Abdurrahim Paita, saksi lain, menuturkan Undang-Undang Kehutanan sangat memberatkan dan menghambat bagi para pengusaha pelayaran. Ketentuan pasal 50 dan 78 UU Kehutanan acapkali dijadikan aparat nakal untuk memeras pengangkut barang. Ada gangguan dari oknum-oknum di lapangan. ABK kami menjadi trauma, kata Abdurrahim.

 

Namun anggota majelis hakim Prof. HAS Natabaya mengingatkan bahwa siapapun yang mengangkut barang-barang yang diperoleh dari hasil kejahatan bisa dipidana. Natabaya menunjuk ketentuan pasal 78 angka (15) yang mengajukan syarat: sepanjang kapal digunakan melakukan kejahatan atau pelanggaran. Pasal itu, kata Natabaya, tidak khusus ditujukan kepada kapal atau pelayaran rakyat saja, melainkan terhadap semua alat pengangkutan. Dengan kata lain, sepanjang kapal pelayaran rakyat digunakan untuk mengangkut kayu illegal, maka pemilik kapal tersebut tetap layak dipersalahkan.

 

Menjawab pertanyaan Natabaya, ahli Abdul Rasyid Gani mengatakan bahwa kapal tidak boleh mengangkut hasil kejahatan. Yang jadi masalah, kata Gani, adalah ketentuan UU Kehutanan yang menyetarakan peran kapal dengan alat-alat angkut lainnya dalam kasus pengangkutan hasil hutan. Kapal kan adanya di pelabuhan, tidak mungkin masuk hutan, begitu asumsi yang diajukan ahli dan juga pemohon.

Perdebatan itu berkisar pada pertanyaan apakah kapal pengangkut kayu hasil illegal logging bisa dipersalahkan secara hukum atau tidak. Dalam pemberantasan tindak pidana illegal logging yang marak belakangan, aparat hukum memang turut menahan kapal-kapal pengangkut kayu.

 

Hal itulah yang memicu protes dari Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Pelayaran Rakyat (DPP Pelra). Mereka mempersoalkan tindakan aparat hukum yang mempersamakan kapal dengan alat angkut kayu illegal lainnya. Pelra menduga aparat yang menahan kapal berpayung pada ketentuan pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

 

Penahanan kapal dan para nahkodanya dalam kasus illegal logging dianggap terlalu gegabah. Seolah-olah semua pemilik kapal dicurigai terlibat dalam perusakan hutan, kata HM Yunus, Ketua Umum DPP Pelra.

 

Itu sebabnya mereka mempersoalkan pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (register perkara nomor 013/PUU-III/2005). Para pengusaha pelayaran rakyat berpendapat kapal-kapal mereka tidak patut dipersalahkan dalam kasus pengangkutan kayu hasil illegal logging. Sebab, mereka tidak berkewajiban mengurus surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Yang mengurus SKSHH adalah pemilik barang. Pemilik kapal hanya mengurus izin berlayar, kata Abdul Rasyid Gani, ahli pelayaran yang dihadirkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/07).

 

Hal yang sama diutarakan Amir Hamzah. Pengusaha pelayaran yang diajukan sebagai saksi itu menuturkan acapkali pemilik kapal tidak mempersoalkan darimana asal barang-barang yang diangkutnya. Sesuai perjanjian pengangkutan, pemilik kapal hanya bertugas mengangkut muatan ke tempat tujuan yang disepakati.

Halaman Selanjutnya:
Tags: