Dalam sistem presidensiil, presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Berbeda dengan sistem parlementer, dimana parlemen dan eksekutif bisa berdebat. Bahkan bila tidak puas, parlemen dapat mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat mundurnya kabinet, ujarnya kepada hukumonline (28/10).
Sumantri juga menepis kemungkinan hak interpelasi ini akan berujung pada pemberhentian presiden (impeachment). Menurut Sumantri, impeachment dimungkinkan apabila ada pelanggaran hukum. Sementara, apabila ada pelanggaran etik sebagaimana dikeluhkan oleh beberapa anggota dewan, tidak bisa menyeret presiden ke situasi impeachment.
Sebagaimana telah diberitakan, DPR tengah menyiapkan penggunaan hak interpelasi sehubungan dengan surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta penarikan surat pengunduran diri Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto. Dalam surat No.R41/Pres/10/2004, alasan Yudhoyono mencabut surat tersebut karena pemerintah sudah melakukan konsolidasi sehingga pergantian Panglima TNI dipandang tidak tepat lagi. Sebelumnya, saat Megawati masih menjadi presiden, ia mengirimkan surat ke DPR perihal pengunduran diri Endriartono.
Berdasarkan catatan, anggota dewan telah beberapa kali menggunakan hak interpelasi ini. Pada masa Presiden Megawati, hak meminta keterangan ini dipakai untuk meminta penjelasan seputar lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Indonesia. Kemudian, saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden, anggota dewan juga mengajukan hak interpelasi. Ketika itu anggota dewan meminta penjelasan sehubungan dengan pemberhentian Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi sebagai menteri.