Diusir dari Rumahnya, Puluhan Sepuh TNI Mengadu ke LBH
Berita

Diusir dari Rumahnya, Puluhan Sepuh TNI Mengadu ke LBH

Sebagian besar penghuni rumah adalah Angkatan 45 dan pernah menduduki jabatan-jabatan penting nasional. Dengan raut wajah yang sudah sepuh mereka harus mengadu ke LBH Jakarta.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Diusir dari Rumahnya, Puluhan Sepuh TNI Mengadu ke LBH
Hukumonline
Letnan Jenderal Mashudi bukanlah nama yang asing di publik Indonesia. Meskipun sudah purnawirawan, sebagai salah satu tokoh Angkatan '45 yang masih hidup tentu ia masih dihormati. Apalagai sederet jabatan penting pernah diraihnya, mulai dari Gubernur Jawa Barat hingga Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Pada tahun 1960-an, ia tercatat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Meskipun batas akhir pengosongan belum tiba, Mashudi dan kawan-kawan layak waswas. Berdasarkan pengaduan mereka ke LBH terungkap bahwa warga sudah tidak diizinkan lagi masuk lewat gerbang utama. Truk sampah pun tidak diizinkan masuk.

Kekisruhan itu sebenarnya coba diselesaikan lewat musyawarah. Pada 11 Maret lalu, Mashudi sudah bertemu Soepriadi, namun tidak berhasil. Itu sebabnya 18 penghuni meminta bantuan hukum ke LBH. Tampaknya, perintah pengosongan itu akan berujung ke jalur hukum.

Sejak 1968

Perumahan Pati TNI Jalan Gatot Subroto Jakarta dibangun oleh Waskita Karya pada 1968. Saat itu yang dibangun sebanyak 21 rumah. Setahun kemudian keluar Surat Keputusan KSAD dan Panglima Kodam Jaya yang memberikan izin penggunaan rumah itu kepada para Pati. Mereka yang diberi izin adalag Angkatan '45 dan pernah menduduki jabatan seperti Dubes RI untuk Australia, Gubernur, Dirjen, Panglima Kodam, Wakil Ketua MPRS.

Sejak awal komplek ini diperuntukkan bagi perwira tanpa penjagaan. Semasa Menhankam/Pangab M. Jusuf telah dibuat edaran yang memberi kesempatan kepada penghuni untuk membelinya dengan jalan merubah status rumah. Namun belakangan, jumlah rumah di komplek bertambah seiring dibangunnya rumah dinas di Blok D dan E. Rumah yang duluan dibangun pun akhirnya diberi cap rumah dinas Mabes AD.

Selama puluhan tahun menghuni, tiba-tiba datanglah surat edaran pengosongan itu. Mereka diperintahkan mengosongkan rumah dinas dalam waktu satu bulan karena komplek itu mau ‘dimurnikan'.

Dalam Surat Edaran No. SE/51/III/2004 tersebut ditegaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar pengosongan adalah penggunaan rumah dinas yang salah fungsi. Ada rumah dinas itu yang dikomersialkan atau disewakan kepada karyawan perusahaan swasta. Bahkan ada rumah yang tidak dihuni sama sekali karena yang bersangkutan tinggal di rumah pribadi di luar komplek.

Tetapi, Mashudi justru harus menerima kenyataan pahit di usianya yang sudah senja. Bersama sejumlah sepuh TNI lainnya, --antara lain Mayjen (Purn) Atam Surakusuma dan Brigjen (Purn) A. Ben Mboi-- Mashudi terpaksa mengadu ke LBH Jakarta lantaran rumah dinas yang mereka tempati sekarang terancam digusur. Terhitung 1 April 2004, 18 penghuni di antaranya meminta bantuan hukum. Menurut rencana Selasa besok mereka juga akan mengadu ke Komnas HAM. Kok bisa ya?

Rupanya, ihwal pengaduan mereka tidak jauh-jauh dari urusan rumah dinas. Adalah Surat Edaran Mabes TNI AD bernomor SE/51/III/2004 yang menjadi masalah. Surat yang ditandatangani Komandan Detasemen Markas TNI AD Kol. Kav. Soepriadi itu menegaskan bahwa para penghuni komplek Pati TNI, termasuk di Jl. Gatot Subroto Jakarta (belakang Balai Kartini) agar segera mengosongkan rumah mereka paling lambat akhir April 2004. Untuk biaya pengosongan, masing-masing rumah mendapatkan Rp120 juta.

Apabila pada akhir bulan April 2004, masih ada warga yang belum pindah, kami mohon maaf apabila terjadi gangguan sarana prasarana dalam komplek, karena pada awal bulan Mei secara bertahap pembongkaran akan segera dimulai, begitu antara lain ancaman yang tertera dalam surat tersebut, yang salinannya diperoleh hukumonline.

Tags: