Yusril: Sistem Proporsional Terbuka Inkonstitusional
Terbaru

Yusril: Sistem Proporsional Terbuka Inkonstitusional

Karena telah mereduksi fungsi partai politik, melemahkan kapasitas pemilih, dan menurunkan kualitas dari pemilihan umum.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit
Perwakilan Partai Bulan Bintang (PBB) Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku Pihak Terkait di ruang Sidang Pleno MK, Rabu (8/3/2023). Foto: Humas MK
Perwakilan Partai Bulan Bintang (PBB) Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku Pihak Terkait di ruang Sidang Pleno MK, Rabu (8/3/2023). Foto: Humas MK

Pengujian UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai konstitusionlitas sistem proporsional terbuka tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal ini Perkara No.114/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono yang sudah memasuki sidang pleno. 

“Ketentuan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat 1 huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu Menyangkut Penerapan Sistem Proporsional Terbuka bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Karena melemahkan, mereduksi fungsi partai politik, melemahkan kapasitas pemilih, dan menurunkan kualitas pemilihan umum," ujar Perwakilan Partai Bulan Bintang (PBB) Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku Pihak Terkait di ruang Sidang Pleno MK, Rabu (8/3/2023) lalu.

Ia menilai pasal-pasal yang dimohonkan pengujian itu telah bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 perihal pergeseran hak menempatkan kandidat parpol (Partai Politik) pada kuantitas suara terbanyak. Mengingat kedaulatan yang berada di tangan rakyat tidak secara gamblang dilaksanakan semua masyarakat, melainkan melalui parpol dengan kepersertaannya dalam pemilu.

Baca Juga:

“Penyerahan keputusan keterpilihan kepada suara terbanyak dalam empat kali pemilihan umum telah menampilkan banyak sisi gelap dari sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak pemilih dan kandidat wakil rakyat, ternyata memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat, memunculkan ekses negatif yang melemahkan posisi partai politik. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur, pendidikan, dan partisipasi politik yang benar.”

Sebaliknya, sambung dia, kader terbaik yang mempunyai kapasitas untuk bekerja, tetapi tidak begitu populer justru 'tersingkir perlahan' dari lingkaran partai. Hingga tergantikan dengan figur terkenal yang kadang belum tentu dapat bekerja dengan baik. Lebih lanjut, ia menilai keterpilihan dari suara terbanyak dengan sistem proporsional terbuka justru menggantikan 'medan permainan' pemilu yang semula merupakan ajang petarungan program maupun gagasan menjadi petarungan orang terkenal dan berkemampuan finansial.

Bahkan, sistem proporsional terbuka ini dipandang bukan sekedar menurunkan kualitas wakil rakyat yang terpilih ke depan, namun parpol juga ikut menurun secara kualitas. Kini banyak partai yang besar atau kecil tidak memiliki kader mumpuni. Tak jarang menjagokan kandidat dari kader partai lain atau kandidat dari golongan apartisan (bukan anggota pengurus partai politik).

“Walau sejatinya aneh, fenomena ini sudah dianggap biasa hari ini. Padahal ini jelas menunjukkan penyakit kronis yang sedang menjangkiti parpol kita. Kenyataan dari fenomena itu adalah parpol kita hari ini terbukti tidak menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga tidak mampu menghasilkan figur-figur yang layak mereka usung sendiri. Penyakit yang melemahkan partai ini, tentunya buruk bagi parpol untuk jangka panjang dan kualitas demokrasi kita. Serangkaian kelemahan-kelemahan parpol (tersebut) terjadi karena power to place the candidate telah digeser.”

Yusril memandang semua kelemahan partai yang secara struktural terjadi bersumber dari sistem proporsional terbuka itu. Menurut perspektifnya sudah melenceng dari tujuan awal penerapannya. “Karena itu, telah muncul kebutuhan konstitusional untuk kembali menguatkan partai politik yang selama ini sebetulnya telah ditegaskan peran dan fungsinya oleh UUD 1945,” lanjutnya.

Dari segi masyarakat selaku pemilih, Yusril memandang telah dilemahkan secara struktural. Pemilih yang seharusnya mendapat pendidikan politik dari partai dan kandidat yang diusungnya, dikarenakan keduanya tidak lagi fokus 'menjual' program dan gagasan, maka pengetahuan pemilih menjadi sebatas kesempatan memilih orang populer atau orang dekat tanpa perlu memastikan kembali kapasitas kandidat untuk bekerja. Dengan kata lain, pemilih dibuat lemas secara struktural dan tidak menjalankan peran kedaulatan yang dimiliki sebagaimana mestinya.

“Benarlah ungkapan orang yang selama ini sering kita dengar yang mengatakan, ‘Wakil rakyat kita hari ini adalah cermin dari para pemilihnya’. Tidak optimalnya lembaga perwakilan atau tidak berkualitasnya para wakil rakyat yang duduk di parlemen adalah akibat kesalahan para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya semaksimal mungkin, semua disebabkan karena game play pemilunya adalah pertarungan kandidat terkenal,” kata Yusril.

Tidak bertentangan

Pihak Terkait lain juga turut memberi keterangan, seperti Derek Loupatty, Achmad Taufan Soedirjo, dan Martinus Anthon Werimon. Ketiganya merupakan kader Partai Golkar yang melalui kuasa hukum Heru Widodo menyampaikan sikap keberatan dan menolak keinginan para pemohon yang menggugat sistem proporsional terbuka. Senada, alasan yang disampaikan ketiganya adalah sistem pemilu yang kini berlaku merupakan produk lintasan sejarah yang terbilang panjang. Sebagai evaluasi dari pengalaman pahit sistem pemilu masa lalu sekaligus hasil transisi reformasi 1998.

"Pilihan sistem proporsional terbuka tidak lain karena menegasikan berlakunya sistem proporsional tertutup yang mengandung kelemahan-kelemahan. Diantaranya, mengunci rapat kanal partisipasi publik yang lebih besar, serta menjauhkan akses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat, sehingga seringkali pasca pemilu menjadi rentetan akumulasi kekecewaan publik,” ujar Heru seperti dilansir laman resmi MK, Rabu (8/3/2023).

Dia melanjutkan kelemahan lainnya dari sistem proporsional tertutup ialah membuat komunikasi politik tidak dapat berjalan serta kesempatan calon terpilih menjadi lebih tidak adil, sampai dengan terjadi krisis calon anggota legislatif karena sudah dapat diprediksi siapa yang akan terpilih, berakibat sedikit yang berminat dan/atau serius mau meniadi calon legislatif.

“Pilihan proporsional terbuka yang menegasikan keberlakuan proporsional tertutup pada pemilu-pemilu sebelumnya tersebut tidaklah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945,” kata Heru Widodo.  

Hukumonline.com

Kuasa Hukum 3 Kader Partai Golkar selaku Pihak Terkait, Heru Widodo. 

Menurutnya, persoalan ini tidak bisa dimaknai sempit sebagai satu-satunya pilihan sistem yang konstitusional ialah proporsional tertutup dengan dua alasan. Pertama, pasal tersebut memberi batasan pada pengusungan calon pemilu anggota DPR dan DPRD yang hanya bisa dilakukan oleh partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilu dan tidak membuka ruang bagi calon dari perseorangan maupun organisasi masyarakat (ormas).

Kedua, peran parpol sebagai peserta pemilu sama sekali tidak dihilangkan dalam sistem proporsional terbuka. Mengingat otoritas dari kepersertaan pemilu masih menjadi hak parpol. Dari pendidikan politik, rekrutmen, hingga menentukan bakal caleg tetap menjadi peranan parpol.

Seperti diketahui, ada empat orang dan dua kader partai politik menjadi pemohon perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 di MK. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait penerapan sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022) lalu.

Tags:

Berita Terkait