Yusril: Aturan Pemurnian Hasil Tambang Konstitusional
Berita

Yusril: Aturan Pemurnian Hasil Tambang Konstitusional

Larangan ekspor bahan mentah tambang justru merupakan amanat dari rakyat.

ASH
Bacaan 2 Menit
Prof. Yusril Ihza Mahendra. Foto: RES
Prof. Yusril Ihza Mahendra. Foto: RES

Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra menilai Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang ditafsirkan sebagai larangan ekspor bijih ore (bauksit) tidak ada pertentangan dengan Konstitusi.

“Norma Pasal 102 dan Pasal 103 disebut norma yang belum selesai karena masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah,” ujar Yusril saat memberi keterangan sebagai ahli dari pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU Minerba di MK, Senin (1/9).

Yusril mengatakan kedua norma yang kemudian ditafsirkan sebagai larangan ekspor raw material atau core (bijih ore/bauksit) bukanlah kewenangan MK. Sebab, norma itu belum selesai yang memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan yang lebih rendah. Lagipula, materi kedua pasal materi sulit untuk dinilai apakah bertentangan konstitusi atau tidak.

“Kalau ada norma undang-undang yang dinilai multitafsir, tetapi ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan seterusnya. Maka, penilaian sifat multitafsir yang merugikan hak pemohon itu mengujinya di MA,” kata Yusril.     

Menurut Yusril, kedua norma itu memang sengaja dirumuskan seperti itu agar pemerintah dapat mengaturnya secara lebih fleksibel ke dalam peraturan yang lebih rendah, sehingga lebih mudah diubah tanpa perlu mengubah UU Minerba. “Normanya sendiri tidak masalah karena sudah didelegasikan ke dalam PP No. 23 Tahun 2010 dan Peraturan ESDM No. 1 Tahun 2014. Jadi sebenarnya pembahasan kedua pasal itu, bukan di sini (MK), tetapi di MA,” tegasnya.   

Dia melanjutkan apabila UU Minerba mewajibkan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) meningkatkan nilai tambah terhadap produksi hasil tambangnya dan pengolahan dan pemurnian hasil penambangannya di dalam negeri. Konsekuensinya, ekspor terhadap bauksit  memang harus dilarang.

“Jika tidak dilarang, norma pengolahan dan pemurnian hasil tambang tidak ada artinya,” kata Yusril.

Dia mengatakan sering berubahnya peraturan ESDM adalah hal yang wajar. Perubahan itu untuk menyesuaikan dengan kenyataan dan faktor yang muncul di dalam dan luar negeri. Karena itu, norma Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba tidak bertentangan Konstitusi. “MK tidak perlu memaknai kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai dengan pelarangan ekspor bijih ore,” pintanya.    

Amanat Rakyat
Ahli pemerintah lainnya, Pakar Hukum Internasional Prof Hikmahanto Juwana menilai larangan ekspor bahan mentah tambang justru merupakan amanat dari rakyat. “Bagi rakyat Indonesia sudah tidak mau lagi bila kandungan dalam tanah air sekedar diekspor tanpa ada nilai tambah,” paparnya.

Hikmahanto juga berharap Indonesia tidak mengulang kembali pengalaman di sektor minyak dan gas bumi. Terlebih, Indonesia sudah tergabung dalam negara OPEC dan berubah status sebagai negara pengimpor Migas. Kondisinya industri pemurnian meski ada, tetapi belum dapat melayani kebutuhan dalam Indonesia.   

“Minyak asal Indonesia tidak dapat dimurnikan di Indonesia, Indonesia justru harus menjual ke luar negeri, di luar negeri setelah disuling baru dibeli lagi oleh Indonesia. Tentu ini akan akan mempengaruhi harga,” katanya.

Karena itu, pemerintah harus didukung untuk menerapkan larangan ekspor bahan baku mentah yang diwujudkan dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba. “Jangka pendek para pelaku usaha tentu akan dirugikan. Kerugian pelaku usaha merupakan collateral damage yang tidak seharusnya mengganggu visi dan fokus pemerintah menjalankan amanah rakyat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang diinterpretasikan kedua pasal itu,” kata Hikmahanto.

Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan sembilan perusahaan tambang memohon pengujian Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Mereka menilai implementasi kedua pasal itu ditafsirkan pemerintah sebagai larangan ekspor bijih ore (bauksit) sejak terbitnya Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tanggal 12 Januari 2014 yang mengakibatkan perusahaan rugi/bangkrut, melakukan PHK, dan efisiensi kegiatan usaha.

Pemaknaan kedua pasal itu yang melarang ekspor biji ore bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Padahal, kedua pasal itu jelas hanya mengatur peningkatan nilai tambah dan pemurnian hasil tambang, bukan larangan ekspor biji ore. Bagi pemerintah, kalau penafsiran kedua pasal itu dimaknai sebagai larangan ekspor biji ore, saat ini aturan tersebut tidak bisa dilaksanakan. Sebab, kondisi saat ini tak banyak perusahaan tambang yang bisa melakukan pemurnian di dalam negeri, khususnya produk bauksit.

Pemohon meminta MK menyatakan kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai adanya larangan terhadap ekspor biji ore.

Tags:

Berita Terkait