Yuk, Simak Cara Aman Hindari Aksi Kriminalitas
Berita

Yuk, Simak Cara Aman Hindari Aksi Kriminalitas

Korban tindak kejahatan jangan menyalahkan diri sendiri. Bagaimanapun, orang yang melakukan tindak kriminal lah yang telah melanggar hukum.

Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Berdasarkan Statistik Kriminal 2016 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2013 hingga tahun 2015 rata-rata terjadi 353 ribu kasus per tahun. Artinya, hampir tiap tiga menit terjadi dua kasus tindak kejahatan di bumi pertiwi. Namun, jika dibandingkan dengan 147 negara di dunia, menurut Criminal Index 2016 yang dirilis oleh Numbeo, Indonesia menempati posisi 51.

 

Memang, negara menjadi penanggung jawab utama untuk menekan dan mencegah kriminalitas. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah menjamin setiap orang untuk memiliki hak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan. Namun, tak ada salahnya untuk selalu waspada dan membekali diri upaya pencegahan. Berikut cara-caranya:

 

1. Jangan terlalu asyik dengan gawai

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di era modern ini setiap orang sering terlalu asyik dengan gawainya di ruang publik. Akibatnya, sensor waspada pun berkurang karena tidak cermat dengan situasi di sekitar. Hal ini bisa saja memancing pelaku kriminalitas untuk memanfaatkan situasi.

 

“Kunci utama untuk mencegah suatu bahaya adalah sikap waspada terhadap kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Karena itu, jangan sampai kita asyik sendiri dengan handphone kemudian tidak waspada,” tandas Pakar Antropologi Hukum dari Universitas Indonesia, Lidwina Nurtjahyo.

 

2. Bekali diri dengan upaya pertolongan pertama

Kejahatan sangat mungkin terjadi secara tiba-tiba dan tanpa diduga. Namun, jangan pernah panik. Menurut Lidwina yang akrab disapa Inge, setiap orang harus selalu siap dengan upaya pertahanan diri. Ia mencontohkan, misalnya dengan berteriak meminta pertolongan orang sekitar.

 

“Kita harus sadar bahwa kejahatan itu bisa terjadi di manapun, kapanpun, dan menimpa siapapun. Tidak hanya menimpa perempuan saja. Bahwa perempuan sangat rentan untuk menjadi korban kejahatan terutama di malam hari itu mitos,” tambah Inge.

 

Pakar Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, mengingatkan bahwa tindak pidana sulit diungkap jika tidak ada saksi. Karenanya, ia menyarankan agar ketika mengetahui seseorang berpotensi menjadi korban kejahatan, upayakan agar ada saksi mengenai kejahatan itu. Misalnya, dengan berlari ke tengah keramaian sehingga banyak orang yang menyaksikan.

 

“Misalnya tahu akan dianiaya, jangan hanya diam saja. Cari saksi. Sebab, tanpa adanya saksi suatu tindak pidana sangat sulit untuk dibuktikan,” tuturnya.

 

(Baca Juga: Bandung, Tingkat Kriminalitas Tertinggi di Jawa Barat 2015)

 

Menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah terdiri dari Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Keterangan saksi menempati urutan pertama, mencerminkan bahwa saksi menjadi alat bukti yang utama dalam mencari kebenaran materiil. Adapun yang dimaksud dengan keterangan saksi diatur di dalam Pasal 1 ayat 27 KUHAP, yaitu “keterangan saksi yang mendengar, melihat, dan mengalami peristiwa secara langsung”. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 memperluas makna saksi sebagai pihak yang ada kaitannya dengan suatu peristiwa, meskipun tidak mendengar mendengar, melihat, atau mengalami secara langsung.

 

Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny, mengakui bahwa ilmu bela diri bisa cukup membantu dalam pertolongan pertama menghadapi kejahatan. Namun, tidak semua orang sempat atau bahkan tertarik mempelajarinya. Ia sendiri mengaku tak pernah belajar ilmu bela diri. Sebagai alternatif, Adriana pun mengatakan alat yang bisa mengalihkan perhatian seperti semprotan aerosol bisa menolong pada saat mengalami kejahatan.

 

3. Lapor!

Inge mengingatkan, siapapun yang menjadi korban harus menyadari bahwa tindak kejahatan yang menimpanya terjadi bukan atas kesalahan yang dilakukan olehnya. Bagaimanapun, orang yang melakukan tindak kriminal lah yang telah melanggar hukum. Oleh karenanya, Inge mengatakan agar korban kejahatan jangan menyalahkan diri sendiri.

 

“Penting sekali untuk menyadari bahwa musibah itu terjadi bukan karena kesalahan dirinya sendiri. Terutama, perempuan yang mengalami pelecehan seksual atau penganiayaan. Jangan sampai berpikir ia menjadi korban kejahatan karena salah memakai baju atau salah bersikap,” tandas Inge.

 

(Baca Juga: Cyber Crime di Jawa Timur Meningkat di 2015)

 

Lebih lanjut Inge mengatakan, Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender telah memberikan dasar bagi menteri, kepolisian, maupun pemerintah daerah untuk melakukan tugas dan wewenangnya dengan berperspektif gender. “Jadi, jangan sampai terjadi victim blaming, korban yang disalahkan,” tandas Inge.

 

Adriana menambahkan, faktanya laporan pemerkosaan yang banyak diterima oleh Komnas Perempuan tidak hanya menimpa perempuan yang berpakaian terbuka. Sehingga ia menggarisbawahi bahwa tindak kejahatan tidak relevan dikaitkan dengan pakaian korban. “Mau yang tertutup, mau yang sudah nenek-nenek pun juga banyak jadi korban pemerkosaan,” katanya.

 

Menurut Adriana, setiap orang perlu mencatat nomor-nomor penting seperti nomor polisi. Sehingga, jika terjadi situasi mendesak bisa langsung melapor kepada pihak berwajib. Selain itu, ia juga menyarankan agar mereka yang biasa menggunakan kendaraan umum atau taksi online tak lupa mencatat nomor kendaraannya. Hal ini untuk berjaga-jaga jika dibutuhkan dalam proses pembuktian kejahatan.

 

Tags:

Berita Terkait