Yuk, Pahami Aturan Baru Tata Cara Persidangan KPPU
Utama

Yuk, Pahami Aturan Baru Tata Cara Persidangan KPPU

Aturan baru ini dianggap lebih memberi kepastian hukum dibandingkan regulasi sebelumnya. Namun, masih terdapat berbagai ketentuan yang masih diperdebatkan dasar hukumnya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: RES
Gedung KPPU. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengeluarkan aturan baru mengenai tata cara persidangan. Beleid ini tertuang dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terbitnya aturan ini menjadi pedoman bagi para pihak dalam perkara persaingan usaha tidak sehat sekaligus mencabut Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.

 

Terdapat berbagai perubahan dan penjelasan lebih detil dalam aturan baru yang memiliki 78 pasal ini dibandingkan sebelumnya. Juru bicara Komisioner KPPU, Guntur Saragih menjelaskan aturan baru kali ini lebih detil dalam ketentuan tata cara persidangan sebelumnya. Selain itu, dia mengatakan beleid ini juga memberi kepastian hukum bagi para pihak termasuk KPPU dalam proses perkara pelanggaran persaingan usaha tidak sehat.

 

“Aturan ini memberi kepastian hukum bagi para pihak,” jelas Guntur saat dijumpai di Gedung KPPU, Selasa (23/4).

 

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Indonesia Competiton Lawyers Association (ICLA), Asep Ridwan menyatakan terdapat sembilan hal ketentuan baru yang berimplikasi terhadap proses perkara persaingan usaha.

 

Sembilan poin perubahan tersebut yaitu:

  1. Kesempatan perubahan perilaku sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
  2. Setiap dokumen yang diajukan bukti harus dilegalisasi di kantor pos
  3. Adanya pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait apabila penyelidikan dihentikan
  4. Tata cara panggilan sidang kepada pihak yang di luar negeri
  5. Verstek atau kewenangan hakim memutus perkara jika terlapor tidak hadir setelah 2 kali dipanggil
  6. Penegasan mengenai prinsip minimum pembuktian dengan minimal 2 alat bukti
  7. Kriteria bukti petunjuk dan saksi yang bisa memberikan keterangan
  8. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan KPPU dalam pelaksanaan putusan seperti penyitaan;
  9. Serta hal-hal lain yang bersifat teknis untuk kelancaran persidangan.

 

Asep menjelaskan perubahan aturan baru ini sudah tepat untuk memperbaiki proses perkara di KPPU. Salah satu ketentuan yang dianggap positif tersebut yaitu mengenai kesempatan perubahan perilaku kepada terlapor yang diduga melakukan pelanggaran.

 

Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 39. Komitmen perubahan perilaku dibuat dalam pakta integritas yang memuat pengakuan dan menerima laporan dugaan pelanggaran. Kemudian, pernyataan tersebut harus ditandatangi pihak terlapor dan ditetapkan oleh Majelis Komisi.

 

Menurutnya, ketentuan perubahan perilaku ini memberi kesempatan bagi pelaku usaha yang melanggar namun tidak berdampak signifikan terhadap pasar untuk memperbaiki bisnisnya tanpa melalui jalan persidangan.

 

Saya sangat mengapreasiasi adanya ketentuan tersebut karena isu-isu persaingan usaha yang kecil-kecil atau tidak serta belum memberikan dampak signifikan terhadap pasar bisa selesai melalui konsep perubahan perilaku daripada menghabiskan waktu dan biaya bagi semua pihak,” jelas Asep.

 

Dia juga mengomentari tata cara pemanggilan terlapor yang berada di luar negeri. Dalam ketentuan baru ini, KPPU akan mengirim surat panggilan pemeriksaan kepada terlapor melalui Kedutaan Besar RI (KBRI) sesuai wilayah tersebut. Asep menilai aturan ini sudah tepat dan memberi kepastian hukum sehubungan pemeriksaan.

 

(Baca: Wajib Patuh, Korporasi Kelapa Sawit Dilarang Kuasai Usaha Kemitraan)

 

Namun, dia menilai tata cara ini berisiko memakan waktu karena perlu koordinasi antara KPPU dengan Kementerian Luar Negeri dalam pemanggilan terlapor tersebut. “Cuma nanti bisa konsekusianya bisa memakan waktu lebih lama sehingga KPPU perlu berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri apabila terdapat concern waktu,” jelasnya.

 

Sehubungan prinsip minimum pembuktian, Asep menilai ketentuan tersebut sangat tepat. Namun, dia menekankan agar kecukupan alat bukti tersebut tidak dilihat dari sisi kuantitas saja melainkan kualitas. Sehingga, dua alat bukti yang wajib diajukan harus relevan dengan perkara yang dipersoalkan.

 

“Artinya, kalau pun secara kuantitatif sudah didukung dua alat bukti, akan tetapi apabila dari segi kualitatif dan substansi kedua alat bukti tersebut tidak relevant atau tidak meyakinkan, maka belum memenuhi prinsip minimum pembuktian,” tambahnya.

 

Masih ada dasar hukum yang dipertanyakan

Di sisi lain, aturan baru ini ternyata masih terdapat ketentuan yang perlu diperbaiki dan dipertanyakan dasar hukumnya. Salah satu ketentuan tersebut mengenai kewenangan KPPU menyita perdata dan/atau menagih menggunakan pihak ketiga.

 

Menurut Asep, kewenangan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa penetapan atau putusan pengadilan. Selain itu, penagihan menggunakan pihak ketiga juga masih belum jelas mekanismenya.

 

“Tindakan penyitaan merupakan tindakan yang mengandung daya/upaya paksa sehingga hanya bisa dilakukan apabila terdapat Persetujuan dari pengadilan. Penagihan melalui pihak ketiga juga kurang jelas dan harus dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku,” jelas Asep.

 

Kemudian, penjelasan bukti petunjuk yang tercantum dalam pasal 57 juga bisa diperdebatkan karena mengarah pada prinsip indirect evidence atau pembuktian tidak langsung. Padahal, pengaturan mengenai bukti petunjuk harus memiliki rujukan hukum.

 

Asep juga menjelaskan prinsip indirect evidence sampai saat ini juga masih perdebatan karena terdapat berbagai perbedaan hasil putusan persidangan. Menurutnya, prinsip indirect evidence terkesan dipaksakan.

 

Selain itu, terdapat juga ketentuan lama yang perlu diperbaiki dalam Peraturan KPPU tersebut seperti kehadiran sidang yang cukup diwakili minimal 1 orang Majelis Komisi. Seharusnya, Asep menilai praktik persidangan ideal seharusnya dihadiri seluruh anggota Majelis Komisi pada tahap-tahap sidang tertentu seperti proses pembuktian

 

“Dalam praktik pengadilan, bahkan pada tahap pembuktian majelis hadir secara lengkap dan kalaupun tidak ada yang hadir ketua majelis meminta persetujuan semua pihak apabila sidang akan tetap dilanjutkan. Saya melihat dalam beberapa hal peraturan baru ini mengacu kepada praktik di pengadilan, dan dalam hal ini praktek di Pengadilan ini seharusnya juga diterapkan,” jelas Asep.

 

Selain itu, terdapat juga saran agar KPPU melakukan perbaikan aturan mengenai persamaan hak antara KPPU dengan terlapor. Menurutnya, perlu terdapat ketentuan mengenai hak-hak terlapor secara lengkap agar due process of law atau perlindungan hak individu dalam proses persidangan  tetap terjaga. 

 

Pihak terlapor seharusnya diberi kesempatan untuk mendapatkan salinan atau memeriksa berkas perkara untuk keperluan pembelaan saat perkara dilimpahkan ke tahap pemeriksaan pendahuluan.

 

Ketentuan ini secara jelas tercantum dalam hukum acara pidana saat terdakwa mempunyai hak untuk mendapatkan salinan berkas perkara yang menjadi dasar adanya surat dakwaan untuk keperluan pembelaan pada persidangan. Namun, ketentuan ini tidak terdapat dalam Peraturan KPPU Nomor 1/2019 tersebut. Bahkan, sebagian hak terlapor yang diatur dalam aturan lama dihapus.

 

“Menurut saya, ini merupakan kemunduran dari segi hukum acara. Kalau pun dalam berkas perkara terdapat dokumen rahasia, seharusnya tidak menghalangi Terlapor untuk memeriksa dokumen lain untuk keperluan pembelaan,” jelas Asep.

 

Hal tersebut dianggap merupakan problem klasik yang terjadi hingga saat ini karena acces to justice atau hak atas akses informasi masyarakat untuk keperluan pembelaan tidak difasilitasi. Menurutnya, transparansi tersebut merupakan isu krusial sejak lama karena seringkali investigator tidak terbuka terhadap semua dokumen atau keterangan yang diperoleh selama proses penyelidikan.

 

Tags:

Berita Terkait