Bagi para pelaku usaha yang ingin melejitkan nilai ekonominya, memiliki merek dan mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) bisa menjadi salah satu jawabannya. Sebelum itu, pelaku usaha perlu memahami apa itu merek, bagaimana pelindungan hukumnya, serta apa perbedaan merek dengan desain industri serta paten.
Oleh karena itu, melalui kegiatan Organisasi Pembelajaran (Opera) DJKI akan mengupas mendalam terkait ‘Perkembangan Kekayaan Intelektual’ yang khususnya membahas mengenai Tumpang Tindih Pelindungan Objek Tiga Dimensi antara Merek dengan Desain Industri dan Paten.
Direktur Merek dan Indikasi Geografis, Kurniaman Telaumbanua, menjelaskan bahwa merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih.
Baca Juga:
“Namun tidak semua tanda dikategorikan merek, harus memenuhi 3 (tiga) unsur yang dapat ditampilkan secara grafis (angka, kata-kata, warna, gambar), harus memiliki daya pembeda (memiliki keunikan menjadi pembeda barang/jasa dipasaran), serta tanda harus dapat digunakan dalam kegiatan dalam praktik dagang atau jasa,” terang Kurniaman dikutip dari laman resmi DJKI, Senin (30/1).
Di kesempatan yang sama, Koordinator Pemeriksaan Merek Agung Indriyanto menerangkan untuk prinsip dari pelindungan hukum terhadap merek sendiri adalah sistem first to file (pertama kali didaftarkan), teritorial (yang berarti pendaftaran merek tunduk pada aturan penerapan perlindungan merek masing-masing negara), dan prinsip speciality (hanya diberikan pelindungan merek untuk jenis barang/jasa sesuai di sertifikat).
“Di sisi lain, merek khususnya untuk merek 3 dimensi memiliki potensi yang cukup berbenturan dengan jenis produk kekayaan intelektual (KI) lainnya seperti desain industri maupun paten. Hal ini harus dipahami pemohon agar dapat mengantisipasi akibat hukum di kemudian hari,” kata Agung.