YLKI: ‘Penyelundupan’ Klausula Baku dalam Perjanjian Leasing Rugikan Konsumen
Berita

YLKI: ‘Penyelundupan’ Klausula Baku dalam Perjanjian Leasing Rugikan Konsumen

YLKI mendorong agar adanya perubahan regulasi mengenai penyelundupan klausula baku ini dari regulator terutama OJK dan BI.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

“Penyelundupan” klausula baku oleh pelaku usaha dalam perjanjian jual beli menjadi salah satu sebab meningkatnya pengaduan konsumen sewa guna usaha atau leasing di masyarakat. Padahal, pencantuman klausula baku itu sudah dilarang dalam Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena merugikan pihak konsumen.

 

Pandangan ini disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) terkait sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial, belum lama ini di ruang sidang MK seperti dikutip laman MK.

 

Permohonan pengujian pasal yang mengatur sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial itu diajukan Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo gara-gara kendaraannya ditarik perusahaan leasing. Mereka mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). Artinya, jika debitur ingkar janji (wanprestasi), penerima fidusia punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang).

 

Pasal 15 UU Jaminan Fidusia

  1. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA",
  2. Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
  3. Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.  

 

Tulus melanjutkan dalam perjanjian standar (baku), ada pelaku usaha yang menyelipkan klausula baku mulai dari menyatakan pengalihan tanggung jawab, pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang. “Dan menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan yang ditetapkan di kemudian hari, ini yang sering ‘menelikung’ konsumen ketika berinteraksi dengan sektor jasa. Salah satunya adalah jasa usaha leasing,” ungkapnya. Baca Juga: Ketika Wanprestasi Leasing Kendaraan Berujung ke MK

 

Menurut Tulus, karakter klausula baku yang sering YLKI temukan mengenai keluhan-keluhan konsumen yang cenderung menguntungkan pelaku usaha dan konsumen menjadi pihak yang dirugikan. Mengantisipasi atau mengatasi kecurangan pelaku usaha tersebut, YLKI sudah menempuh upaya diskusi dengan OJK dan Bank Indonesia (BI) agar ditentukan perjanjian jual beli standar yang memiliki karakter sama. Selain itu, YLKI mendorong agar adanya perubahan regulasi mengenai penyelundupan klausula baku ini.

 

“Substansinya (klausula baku dalam perjanjian jual beli) sangat sulit dipahami konsumen karena terlalu detail, teknis, dan kontennya juga memang (dibuat) konsumen tidak paham, bentuk dan tulisannya sangat kecil dan jelimet, sehingga kami pernah mengusulkan dalam diskusi di OJK dan BI bahwa diperlukan perjanjian standar yang distandardisasi oleh regulator, misalnya oleh OJK. Dalam konteks perbankan atau asuransi harusnya dibuat perjanjian standar yang karakternya sama, sehingga tidak merugikan konsumen dengan menyelundupkan pasal-pasal klausula baku,” usulnya.

 

Kasus ini bermula, Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Aprilliani dan Suri berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp 222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 hingga 18 Juli 2017, Pemohon telah membayarkan angsuran tepat waktu.

 

Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan mereka dengan dalil/alasan wanprestasi. Atas perlakuan tersebut, Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga mendapat beberapa perlakuan tidak menyenangkan.

 

Menerima perlakuan tersebut, keduanya berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 24 April 2018. Dasar gugatannya, perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel.

 

Pengadilan pun mengabulkan gugatan Aprilliani dan Suri dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, kedua pemohon menganggap PT ASF telah berlindung di balik Pasal 15 UU Jaminan Fidusia yang diujikan dalam perkara a quo.

 

Padahal, kata Suri, putusan PN Jakarta Selatan tersebut lebih tinggi daripada UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan demikian, Suri pun berpendapat tidak ada alasan yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia.

 

“Sesuai hasil keputusan pengadilan itu, pihak PT ASF tidak bisa mengambil mobil. Namun kenyataannya, tetap mengambil paksa. Jadi, akibat Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia, kami merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Kita meminta kepada Mahkamah agar pasal itu bertentangan dengan UUD 1945,” kata Suri dalam sidang sebelumnya. Baca Juga: Ini PR Besar Revisi UU Jaminan Fidusia

Tags:

Berita Terkait