YLBHI Nilai RUU Pertanahan Tidak Layak Disahkan
Berita

YLBHI Nilai RUU Pertanahan Tidak Layak Disahkan

Muatan RUU Pertanahan dianggap memberi keleluasaan pada korporasi untuk menggunakan tanah. Sengketa tanah antara masyarakat dengan korporasi sering terjadi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Dengan ketentuan di atas, para pemodal yang bergerak di bidang ekstraktif macam pertambangan, perkebunan, kehutanan, akan mendapat keuntungan berlipat-lipat, selain mendapatkan kekuasaan mengesploitasi juga memiliki hak atas tanahnya sekalian. 

 

Siti menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip UUPA dan peraturan-peraturan lain di bawahnya yang memisahkan penguasaan dan pemilikan tanah dengan bahan tambang seperti mineral batubara, dan hutan di atasnya. Maka, korporasi akan mendapat keleluasaan penuh mengelola sesuatu wilayah dalam tata ruang yang sudah ditentukan, seperti negara dalam negara.

 

Kemudian, YLBHI juga mengkritisi tentang penyelesaian sengketa pertanahan yang tidak sinkron dengan usulan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Pertanahan. Khususnya bagaimana pemaknaan penyelesaian sengketa secara administrasi dan keterlibatan kementerian sebagai pelaksana mediasi. Menurutnya, instansi seperti Bank Tanah yang terlibat dalam pengalihan hak atas tanah memiliki kapasitas memediasi penyelesaian sengketa.

 

“Bagaimana mungkin instansi yang terlibat atau pelaku perampasan lahan memediasi penyelesaian konflik agraria?” paparnya.

 

YLBHI juga memandang pemerintah tidak memahami permasalahan pertanahan di Indonesia, akar masalah, dan cara menyelesaikannya sehingga mengusulkan pengadilan pertanahan. Pembentukan pengadilan pertanahan di dalam RUU ini dianggap sia-sia mengingat tidak ada perbedaan antara penyelesaian kasus tanah yang ada di pengadilan umum dengan pengadilan pertanahan.

 

“Akhirnya bisa diduga, pengadilan pertanahan akan menjadi proyek baru yang tidak berdampak apapun pada penyelesaian konflik pertanahan struktural,” pungkas Siti.

 

Pernyataan Kementerian ATR/BPN

Sebelumnya, Ketua Panita Kerja (Panja) RUU Pertanahan, Herman Khaeron menyatakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang dinilai membutuhkan penyesuaian untuk mengakomodir kondisi, kebutuhan dan dinamika masyarakat yang sudah banyak berubah. UUPA harus dilengkapi dengan peraturan yang lebih spesialis atau spesifik mengenai perkembangan pertanahan saat ini. Hal ini guna terciptanya keseimbangan tata guna tanah sehingga dapat dinikmati secara baik dan optimal oleh masyarakat maupun negara.

Tags:

Berita Terkait