YLBHI Menilai Dokumen Ganti Rugi Cacat Hukum
Kasus Lapindo

YLBHI Menilai Dokumen Ganti Rugi Cacat Hukum

Gugatan wanprestasi bisa diajukan seandainya Lapindo mengingkari janji-janjinya.

Her
Bacaan 2 Menit
YLBHI Menilai Dokumen Ganti Rugi Cacat Hukum
Hukumonline

 

Kepada majelis hakim yang diketuai Moefri, Hasyim menunjukkan sebuah kartu. Kartu berwarna hijau seukuran kartu nama itu biasa disebut kartu jadup—singkatan dari jaminan hidup. Warga yang memegang kartu itulah yang mendapat jaminan hidup dari Lapindo, setidaknya enam bulan, setelah tidak lagi hidup di penampungan. Warga yang mau menerima ganti rugi pasti dapat kartu jaduk, ujar Hasyim.

 

Hasyim sempat dua bulan berada di penampungan, ketika tempat tinggalnya diserbu lumpur tak lama setelah tragedi Lapindo muncul pada 29 Mei 2006. Sekarang ia dan keluarganya tinggal di kontrakan. Selama di penampungan, ia melihat banyak makanan basi disedikan untuk pengungsi. Tak hanya mengalami sakit fisik, sebagian warga juga mengalami stres.

 

Jual Beli

Hasyim tak memberi jawaban yang tegas saat ditanya Taufik Basari dari YLBHI mengenai dokumen ganti rugi. Saya tidak tahu apakah itu perjanjian jual beli atau apa. Saya tanda tangan di hadapan notaris dari PT Minarak, kata Hasyim. PT Minarak Lapindo Jaya merupakan perusahaan yang diberi mandat untuk mengurusi ganti rugi ini.

 

Saksi lainnya, Muzayyin Rafiq, memberikan pernyataan yang lebih tegas. Ia mengaku melihat dokumen yang ditandatanganinya itu merupakan akta jual beli. Namun demikian, baik Hasyim maupun Muzayyin menyatakan, warga tak mendapat salinan dokumen itu. Warga hanya diberi semacam tanda terima.

 

Hal ini menjadi perhatian serius Taufik. Surat perjanjian itu bisa dikatakan cacat hukum, karena korban tidak tahu hak dan kewajibannya, ujar  Taufik saat rehat sidang.

 

Sebenarnya, lanjut Taufik, yang ditandatangani warga adalah perjanjian jual beli. Karena jual beli, mestinya warga diberi hak untuk negosiasi. Faktanya, yang menentukan besarnya nilai jual beli adalah pihak Lapindo. Di samping itu, yang 'dibeli' Lapindo hanya tanah dan bangunan, padahal kerugian warga mencakup banyak hal. Karena itu, Taufik tak sepakat jika pemberian ganti rugi itu dilakukan dengan cara jual beli.

 

Sementara itu, pengacara Lapindo, Ahmad Muthosin, mengaku tak tahu persis dokumen apa yang disodorkan Lapindo kepada warga. Kami belum tahu. Data-data itu masih dipegang notaris PT Minarak, ujarnya. Yang jelas, imbuhnya, berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007 warga berhak mendapatkan ganti rugi.

 

Sejauh ini, YLBHI selaku penggugat juga belum mendapatkan data yang valid soal pemberian ganti rugi. BPLS (Badang Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) yang pegang dokumen, tandas Taufik. Selain perjanjian jual beli, Taufik menyatakan Lapindo beberapa kali membuat perjanjian dengan warga. Bahkan banyak di antar perjanjian itu yang diingkari Lapindo. Mungkin saja nanti kami mengajukan gugatan wanprestasi atas perjanjian-perjanjian itu, ungkap Taufik. Sidang kasus ini akan dilanjutkan dua pekan mendatang. Para tergugat masih akan mengajukan saksi. Secara keseluruhan, tergugat berencana menghadirkan tujuh saksi.

 

Belum semua warga Sidoarjo yang menjadi korban luapan lumpur Lapindo mendapatkan gunti rugi dari Lapindo Brantas Inc. Besarnya ganti rugi itu ialah 20 persen dari total tanah dan bangunan. 80 persen sisanya akan dilunasi sebulan sebelum masa kontrak rumah habis.

 

Hasyim Ahmad mengungkapkan hal itu dalam sidang lanjutan kasus Lapindo di PN Jakarta Pusat, Kamis (6/9). Bertindak sebagai penggugat adalah Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Panas Sidoarjo yang dimotori YLBHI. Sedangkan yang menjadi tergugat adalah Presiden RI, Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, BP Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, serta Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) sebagai turut tergugat.

 

Selaku saksi fakta, warga Kedungbendo Tanggulangin Sidoarjo ini juga mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan ganti rugi, warga diminta menunjukkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kepemilikan tanah atau bangunan. Setelah melengkapi dokumen, warga berhak menandatangani sebuah akta yang disediakan Lapindo. Saya tidak yakin pemberian ganti rugi itu sudah selesai. Mestinya tanggal 31 Agustus ini sudah, tandas Hasyim, yang dihadirkan ke persidangan oleh tergugat. Tidak semua warga setuju. Ada yang minta ganti rugi minimal 50 persen.

 

Per meter per segi, Lapindo menghargai tanah warga sebesar Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta. Dengan begitu, warga mengantungi Rp2,5 juta untuk tanah dan bangunan seluas satu meter per segi. Sementara untuk sawah, Lapindo menghargainya Rp120 ribu per meter per segi. Harga tanah sebelum tragedi meluapnya lumpur, menurut Hasyim, sekitar Rp250 ribu per meter persegi.

 

Pengasuh pondok pesantren ini menambahkan, ia dan sebagian besar warga di sana juga mendapat jaminan hidup sebesar Rp300 ribu per bulan yang dikirim melalui rekening bank. Itu untuk satu kepala keluarga. Ada yang diberi sampai sembilan bulan. Tapi saya hanya diberi selama enam bulan. Sekarang  memasuki bulan keenam, tutur pemilik 12 anak ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: