YLBHI-Komnas HAM Kritik Pernyataan Menteri Agama
Berita

YLBHI-Komnas HAM Kritik Pernyataan Menteri Agama

Ada 6 agama yang diakui negara, bukan 5 seperti disebut Menteri Agama. Pernyataan Menteri Agama yang keliru itu membenarkan kekhawatiran publik terkait pengangkatan orang yang tidak kompeten di bidangnya.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kementerian Agama. Foto: Sgp
Kementerian Agama. Foto: Sgp

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024, salah satunya Menteri Agama yang dijabat Fachrul Rozi. Seperti dikutip beberapa media, setelah dilantik sebagai Menteri Agama Fachrul Rozi mengatakan dirinya bukan menteri Agama Islam, tapi Menteri Agama Republik Indonesia yang di dalamnya ada 5 agama.

 

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai pernyataan itu seolah mau melindungi seluruh agama, tapi mengandung kesalahan mendasar yaitu tentang adanya agama yang diakui di Indonesia. “Kesalahan tersebut selama ini menjadi sumber diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan (aliran yang tidak dominan atau sedikit pengikutnya),” kata Isnur saat dikonfirmasi, Kamis (31/10/2019). Baca Juga: 7 Pesan Jokowi ke Para Menteri Kabinet Indonesia Maju

 

Isnur mengingatkan putusan MK No.140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 1/PNPS/1965 menyebut tidak ada hak atau kewenangan negara untuk tidak mengakui eksistensi suatu agama. Sebab, negara wajib menjamin dan melindungi agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pernyataan ini serupa dengan Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 yang memaparkan agama-agama yang dipeluk/dianut penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Confusius).

 

Hal itu dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Setidaknya, 6 agama tersebut adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, mereka mendapat jaminan perlindungan hak sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 konstitusi. Tapi tidak berarti agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia.

 

“Jika Menteri Agama menafsirkan penjelasan ini sebagai pengakuan oleh negara, (sebenarnya) ada 6 agama yang disebut dan bukan 5,” tegas Isnur.

 

Isnur mencatat, Menteri Agama menyatakan fatwa MUI perlu diikuti pemerintah serta melindungi komunitas Ahmadiyah, tapi dengan syarat tidak lagi sebagai agama. Menurut Isnur, pernyataan ini bertentangan dengan Pasal 1 UUD 1945 yang menyebut Indonesia adalah negara hukum. Artinya seluruh tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, bukan lainnya.

 

“Fatwa MUI mengikat pihak yang mempercayainya, tapi bukan bagian dari sumber hukum negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Isnur.

 

Pernyataan melindungi umat Ahmadiyah, tapi bukan sebagai agama, menurut Isnur hal itu tak berdasar karena SKB 3 Menteri tentang JAI hanya mengatur larangan untuk menyebarkan satu hal saja. Dalam ketentuan itu, tidak ada yang menyebut menganut Ahmadiyah membuat mereka menjadi tidak menganut agama. “Kalau ada pernyataan seperti ini, maka negara telah melanggar hak beragama berkeyakinan warganya,” ujarnya.

 

Bagi Isnur pernyataan Menteri Agama itu membenarkan kekhawatiran publik terkait pengangkatan orang yang tidak kompeten di bidangnya. YLBHI mengusulkan Menteri Agama melakukan kajian dan diskusi yang mendalam dengan para ahli untuk menegakan konstitusi yakni melindungi seluruh rakyat Indonesia apapun agama dan keyakinannya.

 

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai pernyataan Menteri Agama tentang 5 agama yang ada di Indonesia itu keliru. Sudah jelas dan terang ketentuan yang ada mengakui setidaknya 6 agama yang ada di Indonesia. Tak hanya itu, dalam putusan MK No.97/PUU-XIV/2016 tentang pengujian UU Adminduk, pada intinya mengakui keberadaan aliran kepercayaan.

 

Putusan MK ini harus disosialisasikan secara masif dan perlu pembahasan lebih lanjut seperti tempat peribadatan dan pengakuan terhadap hari raya. “Tidak perlu dibentuk regulasi teknis yang baru, bisa dengan cara merevisi peraturan yang sudah ada. Kemudian perlu dibicarakan apakah perlu ada direktorat khusus yang menaungi aliran kepercayaan, kemudian bagaimana dalam praktik peradilan agama,” ujar Beka ketika dihubungi, Kamis (31/10/2019).

 

Dalam 5 tahun terakhir Beka mencatat tren kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami perubahan dimana aktor intoleransi, kekerasan terhadap kebebasan beragama awalnya lebih banyak nonstate actor seperti ormas. Tapi sekarang bergeser, pelakunya lebih banyak state actor, bentuknya berupa diskriminasi yang berdampak pada terganggunya kebebasan beragama dan berkeyakinan kelompok tertentu.

 

“Pengaduan terhadap polisi cenderung menurun, tapi sekarang lebih banyak pemda yang diadukan ke Komnas HAM,” ungkapnya.

 

Beka mengusulkan Menteri Agama untuk mendorong semua umat untuk hidup dengan memegang nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang di dalamnya ada prinsip kesetaraan warga negara. Kementerian Dalam Negeri juga harus aktif mengawasi, misalnya kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif seperti yang ada di sebagian wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur.

Tags:

Berita Terkait