YLBHI: Revisi Kedua UU ITE Masih Memuat Pasal-Pasal Bermasalah
Terbaru

YLBHI: Revisi Kedua UU ITE Masih Memuat Pasal-Pasal Bermasalah

Antara lain pasal 27 terutama tentang ketentuan pencemaran nama baik.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur. Foto: Istimewa
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur. Foto: Istimewa

DPR resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) menjadi UU dalam rapat paripurna beberapa hari lalu. Pemerintah mengamininya dan yakin UU ITE teranyar bentuk kemajuan yang signifikan dalam penyelenggaraan sistem dan tata kelola elektronik serta sinkronisasi dengan aturan UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP. Tapi bagi masyarakat sipil sedari awal pembahasan revisi kedua UU ITE mendapat sorotan kalangan masyarakat sipil karena tertutup dan minim partisipasi publik.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai pemerintah dan DPR gagal merevisi UU ITE secara demokratis. Baginya, DPR dan pemerintah seolah tak belajar dari kesalahan dalam praktik merevisi UUU maupun penyusunan UU yang elitis dan tertutup.

“Tidak transparan dan akuntabel dengan mengabaikan partisipasi bermakna yang merupakan hak mendasar warga dalam negara demokrasi,” katanya dikonfirmasi, Rabu (6/12/2023) kemarin.

Jangan lewatkan pembahasan mendalam mengenai ketentuan dalam RUU Perubahan Kedua atas UU ITE dalam Indonesian Law Digest di https://pro.hukumonline.com/c/law-digest

Isnur mencatat kalangan masyarakat sipil kesulitan mengakses dokumen resmi RUU ITE. Dari pemberitaan media, tercatat berbagai pasal bermasalah UU ITE masih dipertahankan. Seperti  Pasal 27 ayat (3), kendati ada pengurangan hukuman untuk pencemaran nama baik dan dirumuskan menjadi delik aduan absolut.

Baca juga:

Atau ditambahkan Pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong yang menimbulkan kerusuhan yang dilakukan dengan sengaja yang sebelumnya juga terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Termasuk pengaturan Pasal 40 berpotensi digunakan sebagai dasar untuk praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses internet secara ilegal atau melabel hoaks konten-konten publik.

Tags:

Berita Terkait