YLBHI: Pemenuhan Prinsip Fair Trial Selama Pandemi Tak Menunjukan Perubahan Signifikan
Utama

YLBHI: Pemenuhan Prinsip Fair Trial Selama Pandemi Tak Menunjukan Perubahan Signifikan

Hasil penilaian secara global, pemenuhan prinsip fair and trial di Indonesia saat pandemi Covid-19 berada di tengah-tengah dengan skor 55,31. Tapi, Arsul Sani bakal menyampaikan hasil penelitian ini ke MA ataupun Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti lembaga-lembaga terkait.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam 'Peluncuran Laporan Penilaian Penerapan Prinsip Fair and Trial di Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19' secara virtual, Kamis (15/4/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam 'Peluncuran Laporan Penilaian Penerapan Prinsip Fair and Trial di Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19' secara virtual, Kamis (15/4/2021). Foto: RFQ

Penilaian terhadap penerapan fair and trial dalam pemidanaan kesimpulannya masih belum membaik. Hal itu berdasarkan hasil riset yang dilakukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menunjukan nilai secara keseluruhan dengan berbagai indikator berada pada skor 50-an. Karenanya, masih perlu dilakukan berbagai perbaikan dari berbagai aspek dalam hukum acara pidana.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Miko Susanto Ginting, salah satu periset dalam penelitian tersebut, mengatakan penelitian ini menggunakan metode analitycal hierarchy process. Situasi pandemi sejak Januari 2020 dan terbitnya Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Alam, melatarbelakangi dilakukannya penelitian tersebut.

Sebab, KUHAP ternyata tak mengatur penyelenggaraan peradilan pidana dalam situasi bencana. Namun respon kebijakan peradilan pidana dari masing-masing lembaga penegak hukum secara parsial, belum terlembaga menjadi satu. Seperti kepolisian, kejaksaan, hingga Mahkamah Agung (MA) yang akhirnya menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik.

“Metodologi dengan menggunakan teori hak fair and trial. Hipotesis, pengumpulan data penilaian secara kuantitatif dari ahli, temuan, simpulan,” ujar Miko dalam “Peluncuran Laporan Penilaian Penerapan Prinsip Fair and Trial di Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19” secara virtual, Kamis (15/4/2021).

Peneliti ICJR, Ifititahsari melanjutkan pemenuhan prinsip fair and trial di Indonesia saat pandemi Covid-19 berada di tengah-tengah dengan skor 55,31. Namun masih banyak sektor yang perlu diperbaiki agar menutup skor ke arah 100. Menurutnya, skor 55,31 berasal dari 4 aspek. Pertama, aspek dampak pandemi pada fungsi pengadilan dengan skor 51,25. Kedua, kebijakan pada masa pandemi yang berdampak terhadap pemidanaan dengan skor 51,70.

Ketiga, dampak pandemi terhadap hak pembelaan pada fase penyidikan dengan skor 53,64. Keempat, dampak Covid-19 pada orang yang ditahan dengan skor 64,66. Dari keempat aspek itu, masing-masing memiliki indikator yang memiliki nilai beragam. Namun berdasarkan hasil penilaian secara global berada di skor 55,31.

Wakil Ketua MPR Arsul Sani menilai skor 55,31 menunjukan proses-proses peradilan di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak terlampau buruk berdasarkan pandangan ahli yang memberikan penilaian. Dalam melakukan penelitian tersebut, ICJR melibatkan 16 ahli dari beragam profesi. “Kenapa skornya seperti itu, berarti proses-proses peradilan di masa pendemi ini tidak jelek-jelek banget menurut para ahli,” kata Arsul Sani saat menjadi keynote speaker dalam acara ini.

Namun demikian, Arsul memiliki beberapa catatan. Pertama, Arsul yang juga anggota Komisi III DPR itu kerap melakukan kunjungan kerja (Kungker) ke berbagai daerah bertemu dengan jaksa dan hakim. Ternyata, para hakim pengadilan negeri di daerah banyak memberikan keluhan kepadanya. Seperti soal infrastruktur teknologi di dalam negeri.

Arsul mengakui internet dengan status fourth-generation technology (4G) dengan akses data yang tinggi hanya merata di tanah Jawa, sebagian Sumatera. Sementara di bagian Indonesia Timur masih jauh dari harapan. Kedua, concern hakim di daerah terkait proses peradilan pidana prinsipnya tak hanya menggali, menilai alat bukti, tetapi juga membuat yakin terhadap alat bukti di persidangan.

“Banyak hakim yang terganggu dalam upaya pembentukan keyakinan terhadap alat bukti. Padahal keyakinan ini esensinya dalam penjatuhan pidana. Karena proses persidangan untuk menggali pembuktian menjadi terbatas (karena sidang online, red). Bahkan mereka sampaikan mau sidang offline dengan prokes ketat. Jadi proses persidangan di masa pandemi menggganggu pembentukan keyakinan,” kata dia.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu berharap hasil penelitian ICJR terdapat rekomendasi. Nantinya, hasil penelitian ini bakal disampaikan Arsul ke MA ataupun Jaksa Agung. Dia menilai hasil penelitian ICJR perlu dilakukan tindak lanjut di lembaga-lembaga terkait agar nyaring bunyinya. “Tentu dari penelitian ini, nanti dalam revisi KUHAP, ini kemudian mendesak untuk diatur secara spesifik,” harapnya.

Fungsional Perencanaan Madya pada Direktorat Hukum dan Perencanaan Regulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas), Irfan merespon positif hasil penelitian ICJR. Menurutnya, hasil penelitian ICJR amat diperlukan menjadi instrumen dalam melakukan penilaian penerapan asas fair and trial, mulai tingkat penyidikan, pengadilan, sampai lembaga pemasyarakatan.

“Secara umum dari angka-angka yang disampaikan tadi, walaupun nilainya tidak terlalu jelek dan baik, tapi banyak hal yang harus dilakukan perbaikan ke depan berkaitan dengan penerapan fair and trial di dalam sistem peradilan kita,” kata dia.

Irfan juga memiliki beberapa catatan. Pertama, perlu meninjau persentase dukungan teknologi proses peradilan yang telah terdapat di masing-masing pengadilan dengan teknis pelaksanaanya. Kedua, belum adanya aturan teknis yang membahas pembuktian yang terkonfimasi secara digital. Ketiga, soal bagaimana peraturan teknis tahap penyidikan secara online.

Tak berbeda sebelum pandemi

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menilai penelitian ICJR amat bagus sebagai instrumen menilai penerapan fair and trial di pengadilan. Namun sepanjang pandemi tak menunjukan adanya perubahan signifikan. Menurutnya, memang mengalami penurunan pelanggaran fair and trial periode 2020 dibanding 2019. Namun jumlah korban malah bertambah. Penambahan korban berasal dari daerah-daerah yang melakukan aksi demonstrasi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja pada September 2020 lalu.

YLBHI mencatat pada 2020 korbannya malah bertambah lebih dari 100 persen menjadi 4.510 dari sebelummnya 1.847 orang. Menurutnya, pemidanaan di masa pandemi tak berbeda dengan sebelum pandemi. Sebab penahanan yang semestinya dilakukan demi kepentingan pemeriksaan, malah sebaliknya. Berdasarkan situasi yang menunjukan penerapan fair and trial masih jauh dari harapan mengharuskan bergerak cepat melalui teknologi di tengah pandemi.

Peradilan digital amat berkaitan dengan teknologi. Teknologi merupakan alat efektif menciptakan aturan dari sedikit orang bagi banyak orang. Penerapannya bergantung pula dari aparat penegak hukum. Secara struktur, teknologi menetapkan secara searah sebab dan akibat. Dengan ketidaksiapan dalam menghadapi pandemi di sektor peradilan yang utuh menunjukan negara amatiran.

“Amatiran dalam menyelenggarakan peradilan selama pandemi. Atau kalau tidak mau disebut amatiran, tidak peduli terhadap fair and trial,” kata Asfin.

Padahal, bila melihat APBN yang ada, negara dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengatasi banyak kekosongan hukum dalam hukum acara pidana. Namun dalam penegakan hukum pemerintah merasa tak perlu membuat Perppu. Salah satu hal yang mendapat respon positif langkah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan kebijakan mengeluarkan narapidana.

“Tapi prinsipnya, penerapan asas fair and trial tak ada perbedaan mencolok antara sebelum dan masa pandemi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait