Wibawa yang Terkikis Tawa
Kolom

Wibawa yang Terkikis Tawa

Putusan yang disebut aneh, absurd, bahkan lucu oleh masyarakat itu akhirnya batal di tingkat pengadilan tinggi.

Bacaan 4 Menit
Ulwan Fakhri. Foto: Istimewa
Ulwan Fakhri. Foto: Istimewa

Ya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta akhirnya resmi mengabulkan banding KPU RI supaya pemilu tidak jadi ditunda, Selasa (11/4/23). Dengan ini, praktis gugurlah putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal penundaan Pemilu 2024.

Menariknya, ini bukan satu-satunya putusan hakim yang direspons dengan komentar humoristis. Bahkan, pernah ada hakim yang statusnya setara dengan Yao Ming dan Yayan ‘Mad Dog’ Ruhiyan, karena pernah dijadikan meme – google saja kalau tidak percaya!

Akhir 2015 lalu, hakim Parlas Nababan menolak gugatan pemerintah kepada PT BMK dalam kasus kebakaran hutan di lahan konsesi dengan alasan yang memicu ‘kreativitas publik’: lahan yang terbakar masih dapat ditanami lagi. ‘Untungnya’ delapan bulan berselang, setelah meme-meme protes berseliweran di media sosial, Pengadilan Tinggi Palembang membatalkan putusan Parlas.

Baca juga:

Sebenarnya kalau mau dipanjangkan, pembuka tulisan ini bisa saja memuat lebih banyak contoh putusan hakim lain yang direspons oleh masyarakat dengan kartun, meme, celetukan menyindir, atau beragam medium humor lainnya.

Namun tanpa itu, Penulis rasa kita sudah berada di pemahaman masalah yang sama. Ya, rasanya ganjil sekali, putusan yang dilahirkan oleh profesi dengan kualifikasi serta standar profesionalisme tinggi, nyatanya di luar sana justru jadi tertawaan rakyat jelata.

Dari Keganjilan ke Pertaruhan Wibawa

Bukannya masyarakat Indonesia sok berani dengan mentertawakan profesi seagung hakim. Saya jamin, itu sama sekali tidak tepat!

Kita sebagai manusia hanya ‘terkutuk’ karena sangat menikmati aktivitas mengungkap hal-hal yang ganjil. Apalagi begitu keganjilan itu berhasil terungkap, kita bakal mendapatkan ganjaran berupa sensasi kebahagiaan – wajar kalau makin semangatlah kita. Secara garis besar, menurut incongruity theory, begitulah tawa tercipta.

Davis dan Anleu (Judges, Judging and Humour, 2018) menjelaskan kalau hal-hal yang ganjil dan rawan menimbulkan gelak tawa itu mengandung penyimpangan ekspektasi dan pelanggaran norma sosial. Realitanya, segelintir putusan hakim di Indonesia memiliki sifat-sifat tersebut.

Contoh paling umumnya adalah ketika ada koruptor tertangkap, publik berharap hakim memberikan vonis yang setimpal atas kejahatan luar biasa itu. Secara jamak, masyarakat di sini pun menyepakati kalau pengambil sesuatu yang bukan haknya layak diberi sanksi.

Namun, apabila hakim mengeluarkan putusan yang justru memperingan hukuman bahkan membebaskan pelaku, artinya ekspektasi publik dan norma sosial telah diterjang. Tak ayal, saat ada kasus macam ini, tawa pasti terdengar di mana-mana tanpa perlu ‘dibudidayakan’.

Dalam referensi lain, Laura Little di Guilty Pleasures: Comedy and Law in America (2019) turut menulis jika keganjilan adalah konsep yang cocok untuk memahami mengapa kita bisa mentertawakan hal-hal seputar hukum. Pasalnya, dalam bidang ini, jukstaposisi antara dua hal yang kontras mudah terjadi. Misalnya, timpangnya kemuliaan posisi hakim sebagai seorang yang dipersepsikan bijaksana dengan absurdnya alasan yang mendasari putusannya.

Dari sini, pendapat Suparman Marzuki, dalam bukunya Pengawasan dan Penegakan Kode Etik Profesi Hakim (2020) bisa jadi pijakan penting dalam refleksi ini. Ia menegaskan bahwa pengadilan perlu mendasari putusannya dengan rasa arif dan adil yang berlaku di masyarakat. Sebab di sanalah, kehormatan seorang hakim berada.

Maka, ketika ada putusan yang telah dibuat dengan mempertaruhkan wibawa profesi tetapi malah ditertawakan oleh awam, artinya ada muruah profesi yang sedang runtuh.

Refleksi atas Tawa terhadap Putusan Hakim

Incongruity atau keganjilan hanyalah salah satu teori yang diciptakan para pemikir untuk membedah alasan manusia tertawa. Di luar itu, masih ada ‘pisau iris’ lain yang bisa melakukannya, misalnya teori superioritas.

Teori ini berargumen bahwa tawa lahir dari perasaan lebih beruntung yang dirasakan seseorang ketimbang pihak yang sedang ia tertawakan. Dalam perjalanannya sejak dipikirkan oleh Plato, teori superioritas juga mencakup perasaan lebih berdaya dan beradab atas orang atau kelompok lain.

Hemat saya, fenomena masyarakat kita yang saat ini mentertawakan segelintir putusan hakim lebih relevan diatribusikan kepada teori keganjilan. Namun jika nantinya makin banyak putusan yang ditertawakan publik, bukan tidak mungkin bahwa tawa dari ‘sekadar’ perasaan ganjil ini lama-lama berbuah menjadi perasaan superior.

Bisa jadi kalau putusan-putusan yang tidak logis dan bijak merajalela, para awam bakal merasa lebih rasional dan bermoral ketimbang para hakim. Jelas ini berbahaya, karena semua putusan hakim jadi dianggap layak untuk ditertawakan atau dipermalukan secara luas. Hal inilah yang sebaiknya tidak dibiarkan, agar tawa tidak sampai mengikis habis wibawa hakim kita.

Terakhir, benar bahwasanya tiada produk manusia yang sempurna. Kesalahan hakim dalam memutus pun sebenarnya manusiawi. Maka dari itulah, ada yang namanya mekanisme perbaikan putusan lewat pengadilan yang lebih tinggi. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa meski suatu putusan bisa direvisi, begitu sudah ditertawakan, damage-nya sudah terjadi.

Rasa-rasanya, kalau rakyat sudah mentertawakan putusan, Tuhan pun rasanya susah menyelamatkan. Terlebih di era digital ini, selain dicatat oleh malaikat, internet pun ikut mengarsipkan.

*)Ulwan Fakhri, Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait