Wewenang MK Soal Constitutional Question, Ini Ragam Pandangannya
Utama

Wewenang MK Soal Constitutional Question, Ini Ragam Pandangannya

Perlu banyak penyesuaian jika MK diberikan kewenangan untuk menangani Pertanyaan Konstitusional(Constitutional Question) antara lain membentuk hukum acaranya.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi sidang di MK. Foto: RES
Ilustrasi sidang di MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) di sejumlah negara memiliki kewenangan untuk menangani perkara berkaitan dengan Pertanyaan Konstitusional (Constitutional Question) seperti Austria, Jerman, dan Korea Selatan. Tapi di Indonesia kewenangan tersebut belum dimiliki MK. UU No.24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana diubah beberapa kali yang terakhir UU No.7 Tahun 2020 mengatur beberapa kewenangan MK antara lain menguji UU terhadap UUD Tahun 1945 dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Direktur ILRC, Uli Parulian Sihombing, menilai pertanyaan konstitusional dibutuhkan dalam rangka memberi perlindungan HAM terhadap warga negara di pengadilan. Dia mencontohkan praktiknya di Austria, ketika ada pemohon yang mengajukan Pertanyaan Konstitusional karena suatu UU dinilai bertentangan dengan konstitusi dan MK mengabulkannya maka peraturan turunan UU tersebut ikut gugur.

“Pertanyaan Konstitusional sebagai bentuk perlindungan HAM terhadap warga negara di pengadilan terutama dalam perkara pidana dan tidak menutup kasus perdata dan TUN,” kata Uli dalam diskusi buku secara daring bertema "Konstruksi Kewenangan MK RI atas Pertanyaan Konstitusional Dalam Perspektif Negara Hukum", Sabtu (30/10).

Menurut Uli, selama ini pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945 normanya bersifat abstrak. Belum mengarah pada norma konkret yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan setiap hari seperti dalam perkara pidana, perdata, dan administrasi. Jika Pertanyaan Konstitusional ini diterapkan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa hal misalnya terkait hukum acara, dan legalitas pemohon.

Uli memberi contoh praktiknya di Jerman dan Korea Selatan misalnya dalam perkara pidana di pengadilan negeri, pihak terdakwa mengajukan Pertanyaan Konstitusional terhadap ketentuan yang digunakan sebagai landasan dakwaan kepada hakim. Kemudian hakim melanjutkan pengajuan itu ke MA, jika disetujui kemudian MA akan mengajukan permohonan Pertanyaan Konstitusional itu ke MK.

Baca:

Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai tentang jangka waktu penyelesaian perkara Pertanyaan Konstitusional karena ini mempengaruhi proses berperkara di pengadilan. “Jangan sampai penanganan perkara Pertanyaan Konstitusional ini memperlambat proses hukum di pengadilan negeri,” ujar Uli.

Peneliti Senior MK, Pan Mohamad Faiz, mengatakan ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memasukkan aturan tentang Pertanyaan Konstitusional antara lain merevisi UU MK. Tapi praktiknya selama ini secara tidak langsung MK pernah menerima perkara yang masuk kategori Pertanyaan Konstitusional yang bentuknya pengujian UU. Misalnya, Amrozi dkk pernah mengajukan pengujian UU yang mengatur tentang metode eksekusi hukuman mati.

Faiz mengingatkan jika mekanisme Pertanyaan Konstitusional ini dibuka, maka harus disiapkan perangkatnya. Dia membandingkan MK di Jerman yang menangani 6000 perkara setahun, dan Korea Selatan 3000 perkara. MK di Indonesia menangani 300 perkara dalam satu tahun, dan jika menangani perselisihan hasil pemilu MK menghentikan pengujian UU untuk sementara. “Perlu dipikirkan lagi jika mekanisme (Pertanyaan Konstitusional,-red) ini mau diadopsi agar tidak berekspektasi tinggi nanti malah tidak sesuai harapan,” urai Faiz.

Hakim PTUN Jakarta, Enrico Simanjuntak, menilai Pertanyaan Konstitusional ini penting dalam konteks menjaga konsistensi pelaksanaan konstitusi. Tapi akan ada banyak tantangan yang dihadapi misalnya merombak beberapa sistem hukum yang saat ini berlaku. Kemudian harus ada parameter yang jelas sehingga tidak digunakan para pihak untuk mengulur waktu dalam berperkara di pengadilan. Apalagi ada batas waktu penanganan perkara di pengadilan.

“Secara konsep ini (Pertanyaan Konstitusional) memberikan perlindungan hukum agar taat asas pada konstitusi. Tapi memunculkan tantangan di ranah operasional karena hanya banyak hal yang harus disesuaikan,” urai Enrico.

Selain itu, Enrico mengingatkan, UU Kehakiman mengatur hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila sebagai sumber hukum. UU juga bukan satu-satunya sumber rujukan hukum. Jika UU itu dirasa kurang tepat, bisa dicari sumber hukum lain misalnya kebiasaan, doktrin, atau yurisprudensi.

Tags:

Berita Terkait