Waspadalah Membuka Kotak Pandora
Kolom

Waspadalah Membuka Kotak Pandora

Kewaspadaan dan perencanaan adalah sikap politik yang bijak untuk mengamandemen UUD 1945.

Bacaan 2 Menit

 

Lalu, terkait narasi bahwa MPR lebih merepresentasikan keterwakilan golongan dan elemen masyarakat, hal ini benar adanya di masa sebelum terjadi amandemen keempat. MPR adalah penjelmaan rakyat Indonesia di mana terhimpun seluruh wakil rakyat (anggota DPR/unsur politik), wakil golongan (profesi/tokoh masyarakat/tokoh agama), dan wakil daerah.

 

Namun, dinamika politik kita pasca 1998, telah menghendaki bahwa MPR bukan sebagai supra organ negara yang memiliki tugas dan fungsi yang kuat. Akan tetapi sebagai lembaga yang tidak tetap, karena dengan tugas dan fungsi yang ada sekarang, hanya dapat diimplementasikan apabila dalam keadaan yang luar biasa seperti; (i) mengubah dan menetapkan UUD 1945, (ii) melantik Presiden dan Wakil Presiden, (iii) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya dan (iv) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan. Dengan diperkuatnya DPR sebagai representasi wakil rakyat melalui penguatan partai politik, dan penguatan perwakilan daerah melalui DPD, terlebih lagi dikuatkan kembali melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan No.79/PUU-XII/2014).

 

Maka dapat dikatakan representasi golongan dan utusan daerah sudah terwakili pada lembaga DPR dan DPD, yang juga adalah anggota MPR. Dengan kata lain MPR tetap mewakili golongan dan daerah dalam format yang baru. Pada satu titik, jika ingin memperkuat keterwakilan golongan maka yang perlu diperkuat adalah partai politik secara organisasi lewat revisi UU Parpol dan persyaratan menjadi calon anggota DPR dan DPD melalui UU Pemilu.

 

Apabila kita melihat jauh dengan pertimbangan praktik kita berdemokrasi khususnya pada era politik elektoral serta multi-partai dan suasana kebatinan (geistlichen hintegrund) elit dan masyarakat. Maka, lebih tepatnya rencana amandemen tersebut menyasar pada sistem presidensial dengan pertimbangan praktik berdemokrasi pasca reformasi dan suasana kebatinan kita saat ini.

 

Barangkali sistem yang cocok dengan kondisi hari ini adalah semi-presidensial. Artinya melalui sistem semi-presidensial, kepentingan politik yang ada di dalam parlemen ataupun elit partai diakomodasi secara jelas di dalam konstitusi, karena sejatinya konstitusi adalah hasil kesepakatan kekuatan politik, dan berfungsi mengatur penggunaan kekuasaan agar sejalan dengan nalar publik, etika bernegara, dan hukum yang berlaku.

 

Hal ihwal penting lainnya adalah ada atau tidaknya perencanaan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar, karena sejatinya baik amandemen terbatas ataupun menyeluruh, hal tersebut tetaplah suatu perubahan yang memiliki konsekuesi. Secara eksplisit, Undang-Undang Dasar kita tanpa mekanisme pengaman atas upaya amandemen pembukaan, dalam arti lain ketentuan di dalam UUD 1945 tidak ada satupun pasal melarang secara tegas amandemen atas pembukaan. Secara jelas UUD 1945 mengatur tidak dapat diubah adalah bentuk negara, yaitu; Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Maka amandemen terhadap Pembukaan UUD 1945 berpotensi terjadi dan perihal yang sangat bergantung pada keputusan politik dan pertimbangan suasana kebatinan para elit saat ini. Di sisi yang lain kembalinya otoritarianisme bisa saja terjadi apabila kita tergesa-gesa, simtom ini nampak jelas ketika kita sangat bergantung dan terlalu mengelu-elukan pada satu figur pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan.

Tags:

Berita Terkait