Waspadai Potensi Konflik Sosial di Tahun Politik
Berita

Waspadai Potensi Konflik Sosial di Tahun Politik

IPW mengingatkan konflik sosial di tahun 2013 meningkat dibanding tahun sebelumnya.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Waspadai Potensi Konflik Sosial di Tahun Politik
Hukumonline
Pemerintahan di bawah tampuk kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perlu mewaspadai potensi konflik sosial di tahun politik, 2014. Soalnya, konflik sosial di tahun 2013 naik 23,7 persen di banding tahun 2012. Demikian pandangan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam siaran persnya, Kamis (2/14).

Sepanjang 2013 misalnya, terjadi 153 konflik sosial di tanah Nusantara. Mulai tindakan kekerasan berupa tawuran, bentrokan massa hingga berujung kerusuhan sosial. Akibat serentetan insiden tersebut, kata Neta, sebanyak 203 orang tewas, 361 luka, 483 rumah rusak, dan 173 bangunan lainnya dibakar.

Sedangkan pada 2012, hanya terdapat 154 orang tewas dan 217 luka. Dari jumlah tersebut, terdapat 1 orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan 2 orang anggota Brimob tewas. Sedangkan 6 anggota TNI dan 6 anggota polisi mengalami luka. “Jika kondisi ini tidak diantisipasi pemerintah, diperkirakan konflik sosial akan makin marak di tahun politik 2014,” ujarnya.

IPW mencatat konflik terakhir di penghujung 2013 terjadi di Kelurahan Sanggeng,Distrik Manokwari Barat, Papua Barat. Konflik tersebut mengakibatkan seorang anak mesti menghembuskan nafas terakhirnya. Selain itu, enam unit bangunan habis terbakar, antara lain gedung serba guna Anggi Room.

Sementara korban konflik sosial pada 2013, tak hanya melibatkan warga sipil. Sebanyak 10 orang anggota TNI, 4 anggota polisi, dan 188 warga sipil turut menjadi korban konflik sosial. “Dari 361 korban luka-luka, 42 polisi dan 7 TNI. Konflik sosial di 2013 mengakibatkan 15 mobil dibakar dan 11 dirusak. Sepeda motor, 144 dibakar dan 49 dirusak massa,” katanya.

Bukan menjadi rahasia umum, acapkali kantor polisi menjadi amukan massa, antara lain Polres Ogan Komering Ulu, Sumsel. Selain itu lembaga pemasyarakatan, seperti Lapas Tanjung Gusta dan Lapas Palopo. Ironisnya, Polri kerap ‘kebobolan’ melakukan deteksi kemungkinan terjadinya aksi kerusuhan yang berujung hilangnya nyawa.

Neta menilai intelijen Polri masih lemah. Pasalnya fungsi deteksi dini yang mestinya dilakukan intelijen kepolisian dapat berjalan maksimal. Sebaliknya, dengan banyaknya aksi konflik sosial berujung kerusuhan seakan intelijen kepolisian tidak berfungsi maksimal.

“Di tahun 2014, pemerintah SBY perlu membenahi semua ini. Jika tidak bukan mustahil Pemilu dan Pilpres 2014 akan diwarnai berbagai konflik dan kerusuhan sosial yang menewaskan banyak orang,” ujarnya.

Terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Agus Rianto menampik intelijen Polri tidak berfungsi maksimal. Menurutnya, intelijen Polri telah bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Dia mengatakan, penguatan peran intelijen sudah diarahkan Kapolri. Misalnya, penguatan Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bapimkamtibmas) di desa. “Penguatan intelijen sudah ada Tupoksinya. Mesin organisasi sesuai fungsinya sudah menjalankan program dan harapan masyarakat,” ujarnya.

Ia berpendapat kerusahan yang terjadi di berbagai daerah bukan menjadi tanggungjawab Polri semata. Apalagi, jumlah Polri jauh lebih sedikit dibanding jumlah masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan kerjasama yang baik antara Polri dan masyarakat untuk mengantisipasi tejadinya kerusuhan, terutama memasuki tahun politik, di mana masyarakat daerah seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

“Tapi kita akan meningkatkan upaya melayani masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tahu itu kan masyarakat. Kalau ada yang tidak bisa diatasi oleh masyarakat, segera diinformasikan ke kita,” tandas mantan Kabid Humas Polda Jawa Barat itu.
Tags:

Berita Terkait