Waspada! Modus Penipuan Berkedok Koperasi Online
Utama

Waspada! Modus Penipuan Berkedok Koperasi Online

Penipuan berkedok koperasi ini juga melibatkan tokoh masyarakat hingga pemuka agama.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Beberapa waktu terakhir modus penipuan berkedok koperasi online marak terjadi. Dengan memanfaatkan media online dan elektronik seperti website, WhatsApp hingga pesan singkat, koperasi online ini menawarkan investasi “bodong” atau palsu kepada masyarakat. 

 

Penipuan ini umumnya terjadi melalui layanan simpan pinjam (KSP). Koperasi tersebut menjanjikan imbal hasil bunga tinggi bagi para anggota yang menempatkan dananya di lembaga tersebut. Selain itu, mereka juga menawarkan produk investasi lain seperti pertanian dan budidaya perikanan. Modus penipuan lainnya juga dilakukan dengan mengutip iuran bagi masyarakat yang ingin menjadi anggotanya.

 

Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), Suparno mengakui praktik penipuan berkedok koperasi semakin meningkat seiring pengingkatan teknologi. Tidak hanya memanfaatkan media online, penipuan berkedok koperasi juga terjadi secara konvensional.

 

Dia menganggap praktik penipuan ini perlu segera ditindak untuk mengantisipasi kerugian lebih besar pada masyarakat. Kemudian, dia menjelaskan melalui media online oknum penipu tersebut lebih mudah melakukan penawaran kepada masyarakat.

 

“Di era digital ini banyak orang yang memanfaatkan kesempatan. Mereka mengatasnamakan koperasi yang sudah dikenal dekat masyarakat,” kata Suparno di Jakarta, Selasa (4/12).

 

Selain modus penipuan, Suparno juga membeberkan masih banyak koperasi berkegiatan tanpa memiliki izin dari pemerintah. Selain itu, koperasi tersebut juga melayani non-anggota atau calon anggota dengan menggunakan nama nasabah. Padahal, layanan simpan pinjam harus mengutamakan para anggota seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.

 

PP 9/1995

Pasal 20:

(1) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam mengutamakan pelayanan kepada anggota.

(2) Apabila anggota sudah mendapat pelayanan pinjaman sepenuhnya maka calon anggota dapat dilayani.

(3) Apabila anggota dan calon anggota sudah mendapat pelayanan sepenuhnya, koperasi lain dan anggotanya dapat dilayani berdasarkan perjanjian kerjasama antar koperasi yang bersangkutan.

(4) Pinjaman kepada anggota koperasi lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan melalui koperasinya.

 

Kemudian, Suparno juga menjelaskan terdapat koperasi yang membuka kantor cabang lebih banyak dibandingkan jumlah anggotanya. Hal ini diindikasikan bahwa kegiatan koperasi tersebut sudah tidak sesuai dengan tujuan awal pembentukan.

 

“Ada koperasi yang anggotanya hanya 20 orang tapi jumlah cabangnya jauh lebih banyak,” katanya.

 

Kemenkop UKM sebenarnya sudah berupaya mengantisipasi penipuan atas nama koperasi ini. Namun, jumlah pengawas yang minim dianggap tidak mampu mengawasi praktik penipuan koperasi tersebut.

 

“Rasio satu pengawas di tingkat kabupaten kota harus bertanggung jawab mengawasi 54 koperasi. Jumlah ini tidak seimbang,” jelas Suparno.

 

Salah satu solusi yang dilakukan Kemenkop UKM yaitu penambahan jumlah pengawas koperasi di tingkat daerah. Program ini sudah diusulkan kepada Kementerian Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Setidaknya, Kemekop UKM membutuhkan sekitar 2 ribu pengawas setiap tahunnya.

 

Dalam pengawasan kegiatan koperasi ini, Kemenkop UKM juga menggandeng lembaga lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisioner Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Dalam pengawasan tersebut, setiap lembaga melakukan pemeriksaan sesuai dengan tugasnya masing-masing.

 

(Baca Juga: Waspada Investasi Ilegal)

 

Berdasarkan data Tim Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Investasi (Satgas Waspada Investasi) OJK saat ini terdapat 12 koperasi diduga ilegal. Berikut daftar 12 koperasi tersebut:

 

  1. Koperasi Pandawa
  2. Koperasi Baitul Maal Wat Tamwil Cakrabana Sukses Indonesia (BMT CSI)
  3. Koperasi Segitiga Bermuda
  4. Koperasi Agro Investy
  5. Koperasi Pandawa Malang
  6. Koperasi Putra Alam Semesta
  7. Koperasi Syariah Pesantren Enterpreneur
  8. Koperasi Indonesia Bersatu
  9. Koperasi Budaya Karyawan
  10. Koperasi Harus Sukses Bersama
  11. Koperasi Compact Sejahtera Group
  12. Koperasi Indonesia

 

Ketua Tim Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing, menjelaskan ciri-ciri koperasi ilegal tersebut umumnya menawarkan bunga imbal hasil lebih tinggi dibandingkan jasa keuangan lainnya. Bahkan, dia menjelaskan terdapat koperasi menawarkan bunga pinjaman hingga 30 persen per bulan.

 

Sayangnya, Tonggam juga menjelaskan praktik penipuan berkedok koperasi ini juga melibatkan tokoh masyarakat hingga pemuka agama. Hal ini juga dinilai menjadi penyebab mudahnya masyarakat dengan mudah tertipu dari praktik koperasi ilegal ini.

 

Untuk itu, dia mengimbau agar masyarakat memeriksa terlebih dahulu identitas koperasi seperti lokasi, daftar pengurus dan perizinannya. “Masyarakat ini sangat mudah tergiur ingin cepat kaya dan serakah. Seharusnya, masyarakat pahami dulu izin dan lokasi koperasinya,” katanya.

 

Maraknya penipuan ini berdampak buruk terhadap citra koperasi di Indonesia. Ketua Pengurus KSP Nasari, Sahala Panggabean menyatakan pihaknya pernah dimanfaatkan oknum penipu tersebut dengan mengatasnamakan KSP Nasari. Modus penipuan oknum tersebut dengan menawarkan pinjaman kepada para korban melalui SMS Blast dan WhatsApp dengan syarat transfer biaya administrasi terlebih dahulu.

 

Sahala mendorong kepolisian harus serius menangani modus penipuan ini untuk mencegah jumlah korban yang jauh lebih banyak.  Dia juga mengimbau agar korban segera melaporkan kepada penegak hukum mengenai kegiatan koperasi ilegal ini.

 

“Korban segera lapor jika ada penipuan atas nama koperasi ini. Kalau kami yang melapor tidak direspons cepat karena polisi menganggap kami tidak dirugikan secara finansial,” jelas Sahala.

 

Tags:

Berita Terkait