Waspada! Jebakan “Batman” Pinjaman Online Ilegal
Utama

Waspada! Jebakan “Batman” Pinjaman Online Ilegal

Dengan segala kemudahan meminjam dana secara online, masyarakat tentunya harus berhati-hati jika tidak ingin terjebak pada pinjaman dari fintech illegal yang ujungnya akan merugikan masyarakat sendiri.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Permasalahan hukum praktik pinjaman online ilegal makin marak terjadi di masyarakat. Salah satu kasus yang baru saja mencuri perhatian publik luas yaitu permasalahan pinjaman fintech seorang Guru TK di Malang bernama Susmiati yang membengkak menjadi puluhan juta menjadi sorotan publik saat ini. Guru TK tersebut meminjam untuk kebutuhan pendidikannya melalui 19 fintech lending ilegal dan lima fintech lending yang terdaftar atau berizin di OJK. Sedangkan, total kewajibannya mencapai sekitar Rp 35 juta, dengan rincian Rp 29 juta di fintech lending ilegal dan Rp 6 juta di fintech lending resmi.

Permasalahan tersebut menjadi gambaran berbahayanya praktik pinjaman online ilegal bagi masyarakat. Biaya bunga tinggi, pencurian data pribadi hingga penagihan kasar serta pelecehan harus dialami masyarakat. Sayangnya, sisi peraturan dan penegakan hukum juga masih lemah untuk melindungi masyarakat. Penegak hukum sulit menindak pelaku fintech ilegal yang mayoritas berada di luar negeri. Kemudian, aplikasi fintech ilegal dengan mudah dibuat ulang meski berkali-kali diblokir pemerintah.

Tentu di balik semua kemudahan ini, banyak hal yang harus menjadi perhatian bagi masyarakat. Terutama terkait pemahaman mengenai platform yang terdaftar dan berizin di OJK. Dengan segala kemudahan meminjam dana secara online, masyarakat tentunya harus berhati-hati jika tidak ingin terjebak pada pinjaman dari fintech illegal yang ujungnya akan merugikan masyarakat sendiri,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas IKNB Otoritas Jasa Keuangan, Riswinandi dalam webinar “Menimbang Peran OJK dalam Memberantas Pinjaman Online Ilegal”, Rabu (30/6).

Dia menjelaskan status ilegal ini untuk membedakan operasionalnya dengan platform yang sudah terdaftar dan berizin OJK. Berbeda dibandingkan status terdaftar dan berizin OJK, fintech ilegal dapat mengambil data-data pribadi seperti nomer telepon, foto, video, dan berbagai hal yang tersimpan di ponsel konsumen. Sedangkan, fintech terdaftar dan berizin hanya bisa melakukan akses terhadap tiga hal saja yakni camera, mikrofon dan lokasi.

“Tanpa disadari secara system platform illegal ini dapat mengambil data-data pribadi seperti nomer telepon, foto, video, dan berbagai hal yang tersimpan di ponsel konsumen. Akses pada hal-hal yang sebetulnya dilarang tersebut akhirnya menjadi ramai di publik, terutama pada proses collection,” jelasnya. (Baca: OJK-Polri Diminta Berantas Pinjol Ilegal Terkait Jual Beli Selfie KTP)

OJK secara periodik menampilkan daftar Fintech P2P apa saja yang yang terdaftar dan berizin di OJK melalui website resmi. Selain itu, pemanfaatan kanal media sosial digunakan untuk diseminasi informasi tersebut kepada publik. “Oleh karena itu masyarakat yang hendak menggunakan jasa pinjaman online atau peer to peer, agar terlebih dahulu melakukan pengecekan ke website OJK,” tambah Riswinandi.

Dia menyampaikan OJK tidak mampu menyelesaikan pinjaman ilegal sendiri. Banyak hal yang diluar yuridiksi pengawasan OJK, terutama dalam konteks & tatanan siber. Misalnya dalam hal mengontrol aplikasi-aplikasi yang tersedia di Application Store maupun pesan-pesan berantai dari nomor handphone yang dengan sangat mudah berganti.

OJK menyatakan perlu berkolaborasi dengan K/L lain dalam hal pengawasan kepada fintech lending illegal OJK saat ini sedang membangun dan mengembangk an PUSDAFIL. Berangkat dari hal tersebut, OJK bersama-sama Kementerian/Lembaga membentuk Satgas Waspada Investasi dimana anggotanya selain OJK ada dari pihak APH (Kejaksaan dan Kepolisian RI) dan Kementerian/Lembaga (Kominfo, Kemendag, kemenkop, BKPM dan Kemendag) terus melakukan penyisiran dan penindakan terhadap Fintech illegal. Setidaknya sejak tahun 2018 sudah lebih dari 3193 fintech illegal sudah berhasil ditindak.

“Di sisi internal kami, kami juga terus melakukan review salah satunya melalui Moratorium pendaftaran di mana OJK tidak menerima pendaftaran Fintech P2P baru selama lebih dari setahun terakhir,” jelas Riswinandi.

Selain untuk memastikan status izin dari platform P2P, kata Riswinandi, moratorium juga digunakan untuk melihat dan menelaah kembali, melakukan scrutinize pada platform-platform yang belum comply pada regulasi, maupun tidak memliki kapasitas SDM dan operasional yang memadai untuk menjalankan bisnis.

Pada Februari 2020 saat dimulainya moratorium pendaftaran fintech P2P, terdapat 165 perusahaan yang terdaftar dan berizin di OJK, namun sekarang tinggal 125 perusahaan dengan rincian 60 Fintech P2P yang statusnya terdaftar serta 65 yang telah memiliki status berizin.

Sementara itu, Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing menyatakan pihaknya telah mengambil langkah cepat dan tegas bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika menindak pinjaman online ilegal atau rentenir online yang berpotensi melanggar hukum. Tindakan tegas dilakukan dengan melakukan cyber patrol dan sejak 2018 telah memblokir 3.193 aplikasi dan website pinjaman online ilegal.

“Kami meminta masyarakat waspada pinjaman online melalui SMS atau WhatsApp karena penawaran tersebut merupakan pinjol ilegal. Kami menghimbau masyarakat hanya menggunakan pinjaman online resmi terdaftar dan berizin OJK serta selalu untuk cek legalitas pinjol ke Kontak 157/ WhatsApp 081157157157. OJK akan menindak tegas perusahaan pinjaman online legal yang melakukan tindakan penagihan atau debt collector secara tidak beretika,” jelas Tongam.

Tongam juga meminta masyarakat memahami risiko pinjaman online ilegal. Dia menjelaskan terdapat perilaku masyarakat yang tidak benar menggunakan pinjaman online untuk menutupi utang sebelumnya. “Banyak gali lobang tutup lobang. Ini bahaya, ada konsumen pinjam dari 141 pinjol ilegal. Pinjaman online ilegal ini sengaja tidak daftar di OJK karena ingin bunga tinggi. Kemudian, jangka waktu pinajaman juga tidak jelas bilangnya saat download 90 hari tapi saat deal hanya 7 hari. Fee tinggi pinjam Rp 1 juta yang ditransfer hanya Rp 600 ribu. Mereka ini ganti nama terus blokir satu ganti lagi,” jelas Tongam.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia, Tulus Abadi menyampaikan pengaduan konsumen pinjaman online merupakan salah satu paling sering dilaporkan. Dia menjelaskan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap bisnis pinjaman online menjadi salah satu penyebab tingginya pengaduan konsumen tersebut.

“Indeks keberdayaan konsumen rendah. Konsumen jadi tidak berdaya karena tidak paham dengan kondisi dirinya. Pemerintah kedodoran dalam pengawasan dan penegakan hukum. Mayoritas pelakunya berada di luar negeri tapi pinjamannya ada di Indonesia. Konsumen juga faktanya tidak baca kontrak elektronik, gampang mennyerahkan data pribadi,” jelas Tulus.

Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (APPI), Kuseryansyah mengatakan pihaknya bersama pemerintah mengupayakan edukasi kepada masyarakat mengenai fintech. Dia mendorong agar pemerintah memberantas praktik pinjaman online ilegal karena meresahkan masyarakat.

“Untuk memperkuat upaya pemberantasan fintech ilegal, maka perlu payung hukum setara dengan Undang Undang. Kami ingin ada peraturan yang mengatur bahwa hanya fintech berizin yang boleh beroperasi. Kami juga mendorong anggota yang masih status terdaftar segera mengurus proses perizinan OJK,” jelas Kuseryansyah.

Tags:

Berita Terkait