Waspada, Jeratan Fintech Ilegal di Tengah Wabah Covid-19
Berita

Waspada, Jeratan Fintech Ilegal di Tengah Wabah Covid-19

Pemerintah harus memberikan jaring pengaman sosial lebih luas di tengah kondisi masyarakat yang banyak kehilangan pekerjaan akibat covid-19, ini menjadi mutlak agar masyarakat dapat menghindari dari yang namanya pinjaman ilegal.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Persoalan corona virus disease 2019 (Covid-19) menyebabkan perekonomian masyarakat lumpuh khususnya bagi berpendapatan rendah dan informal. Masyarakat berpendapatan rendah tersebut ada yang kehilangan pekerjaannya dan tidak dapat berdagang karena terbatasnya aktivitas akibat pandemi Covid-19. Hal ini berdampak menjamurnya pinjaman-pinjaman bunga tinggi seperti financial technology (fintech) ilegal di masyarakat yang membutuhkan dana untuk kebutuhan sehari-hari.

 

Permasalahan ini dikonfirmasi Satgas Waspada Investasi yang meminta masyarakat berhati-hati terhadap banyaknya penawaran pinjaman dari fintech lending tidak berizin serta penawaran investasi ilegal yang marak muncul memanfaatkan kondisi ekonomi yang sedang melemah akibat dampak penyebaran Covid-19.

 

“Saat ini masih marak penawaran fintech lending ilegal yang sengaja memanfaatkan kesulitan keuangan sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sasaran mereka adalah masyarakat yang membutuhkan uang cepat untuk memenuhi kebutuhan pokok atau konsumtif,” kata Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing, Rabu (29/4).

 

Menurut Tongam, penawaran pinjaman dari fintech lending yang tidak berizin sangat merugikan bagi masyarakat, karena selain mengenakan bunga yang sangat tinggi dan jangka waktu pinjaman pendek, mereka juga akan meminta akses semua data kontak di handphone. “Ini sangat berbahaya, karena data ini bisa disebarkan dan digunakan untuk alat mengintimidasi saat penagihan,” kata Tongam.

 

Satgas telah menemukan 81 fintech peer to peer lending ilegal pada masa pandemi Covid 19 ini, di bulan April,. Sehingga total yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 s.d. April 2020 sebanyak 2.486 entitas. (Baca: Meneropong Perlindungan Konsumen Jasa Finansial di Tahun Tikus Logam)

 

Tongam juga meminta agar masyarakat yang memanfaatkan pinjaman fintech lending menggunakan dananya untuk kepentingan yang produktif dan bertanggungjawab untuk mengembalikan pinjaman tersebut sesuai waktu perjanjian. Selain itu, pada April ini, Satgas Waspada Investasi juga menghentikan 18 kegiatan usaha yang diduga melakukan kegiatan usaha tanpa izin dari otoritas yang berwenang dan berpotensi merugikan masyarakat.

 

Modus penawaran investasi 18 perusahaan ini sangat merugikan karena memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat untuk menipu dengan cara iming-iming pemberian imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak wajar. Selain itu banyak juga kegiatan yang menduplikasi laman entitas yang memiliki izin sehingga seolah-olah laman tersebut resmi milik entitas yang memiliki izin.

 

Dari 18 entitas ilegal tersebut di antaranya 12 penawaran investasi uang, 2 multi level marketing, 1 perdagangan forex,1 cryptocurrency atau crypto asset, 1 kegiatan undian berhadiah tanpa izin dan 1 Investasi emas.

 

Tongam mengimbau agar masyarakat memastikan pihak yang menawarkan pinjaman fintech lending atau investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan. Selain itu, masyarakat juga harus memastikan pihak yang menawarkan pinjaman fintech lending dan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.

 

Menanggapi persoalan ini, Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Aji Warsito, menjelaskan maraknya fintech ilegal saat ini karena kondisi ekonomi masyarakat sedang lemah. Hal tersebut dimanfaatkan fintech ilegal untuk menawarkan pinjaman kepada masyarakt. Menurutnya, pemerintah perlu membuat jaring pengaman sosial lebih luas sehingga masyarakat dapat terhindar dari jeratan utang fintech ilegal. (Baca: Menanti Undang-undang Khusus Fintech Demi Melindungi Konsumen)

 

“Terkait dengan maraknya pinjaman ilegal dan fintech ilegal ditengah kondisi ekonomi masyarakat saat ini yang memang dalam keadaan sangat membutuhkan mau tidak mau masyarakat membutuhkan mereka dengan persyaratan yang tidak begitu sulit tetapi perlu diingat pinjaman ilegal menjebak masyarakat dalam utang yang tidak berkesudahan, bunga tinggi, bunga berbunga, penagihan secara tidak manusiawi dan dari sisi perlindungan konsumen juga tidak terlindungi,” jelas Aji kepada hukumonline.

 

“Peran serta pemerintah memberikan jaring pengaman sosial di tengah kondisi masyarakat yang banyak kehilangan pekerjaan akibat covid-19 ini menjadi mutlak agar masyarakat dapat menghindari dari yang namanya pinjaman ilegal dan sebagainya karena keterdesakan ekonomi itu,” tambahnya.

 

Dia juga menjelaskan konsumen pada fintech ilegal sulit dilindungi karena entitas tersebut tidak berizin. Menurutnya, peran pemerintah mengedukasi masyarkat sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak terjerat fintech ilegal. “Segeralah pemerintah membuat suatu regulasi yang mengatur fintech jangan hanya diatur dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan agar permasalahan yang diadukan konsumen atau borrower fintech tidak menjadi bola salju ke depannya,” jelas Aji.   

 

Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti, berpendapat keberadaan fintech ilegal sangat perlu diwaspadai. Apalagi, katanya, Satgas Waspada Investasi juga mengidentifikasi bahwa sasaran fintech ilegal adalah masyarakat yang memiliki kerentanan keuangan yang membutuhkan uang secara cepat dan persyaratan mudah guna memenuhi kebutuhan pokok maupun konsumsinya.

 

“Dibandingkan dengan fintech legal, fintech ilegal lebih berbahaya karena tidak terikat dengan aturan OJK dan asosiasi serta tidak berada dalam pengawasan mereka," ujarnya seperti dilansir Antara.

 

Untuk itu, ia menginginkan agar OJK melakukan restrukturisasi pasar teknologi finansial, yang meliputi standar operasional bisnis pinjaman online, penggunaan Fintech Data Center (FDC) yang optimal untuk risk assessment dan perlindungan konsumen. Hal ini juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kebijakan yang ada dan untuk memperkuat perlindungan data nasabah.

 

Ia menjelaskan, standar operasional bisnis pinjaman online yang perlu diatur meliputi, perlindungan data, transparansi bunga dan biaya yang harus dibayar peminjam dan standar proses penagihan utang. "Yang sering bermasalah adalah penggunaan data konsumen secara eksesif seperti kontak, lokasi, dan galeri dalam telepon seluler yang digunakan untuk proses penagihan utang yang intimidatif," kata Ira. (ANT)

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait