Warga DKI Persoalkan Syarat Pemenangan Pilgub
Berita

Warga DKI Persoalkan Syarat Pemenangan Pilgub

Syarat pemenangan dan calon tunggal harusnya mengikuti UU Pilkada dan putusan MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Antonius Iwan Dwi Laksono dan kuasa hukumnya Muhammad Sholeh menghadiri sidang perdana uji materi UU Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Selasa (26/4) siang. Foto: Humas MK
Pemohon Antonius Iwan Dwi Laksono dan kuasa hukumnya Muhammad Sholeh menghadiri sidang perdana uji materi UU Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Selasa (26/4) siang. Foto: Humas MK
Jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017, akhirnya seorang warga DKI Jakarta, Antonius Iwan Dwi Laksono mempersoalkan Pasal 11 ayat (1), (2), (3) UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Pemprov DKI). Beleid yang mengatur syarat pemenangan dalam Pilkada DKI Jakarta ini dinilai merugikan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih.

Februari 2017, ada Pilkada DKI Jakarta karena pasal a quo berpotensi merugikan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih,” ujar kuasa hukum pemohon, Mohammad Soleh dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (26/4).

Pasal 11 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan “Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.”

Ayat (2) pasal yang sama menegaskan “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama”.

Ayat (3)-nya berbunyi, “Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”

Soleh beralasan Pasal 11 UU Pemprov DKI ini mengakibatkan pemborosan anggaran Pemprov DKI. Sebab, aturan itu memungkinkan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta dua putaran apabila salah satu pasangan calon tidak memperoleh suara lebih dari 50 persen. Padahal, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (Pilkada)mengatur syarat pemenangan dengan suara terbanyak.

“Pengalaman Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 saja ada putaran kedua menelan biaya sekitar 200 miliar. Ada baiknya anggaran itu dialokasikan kegiatan lain yang lebih bermanfaat bagi warga DKI. Makanya, Pemohon sebagai DKI potensi dirugikan dengan aturan itu,” kata Soleh.

Persoalan lain, kata dia, Pasal 11 UU Pemprov DKI belum mengatur mekanisme apabila pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta hanya terdapat pasangan calon tunggal. Sebab, apabila calon pasangan tunggal terjadi, maka pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta berpotensi akan ditunda, seperti yang pernah terjadi pilkada daerah lain.

“Jika dilihat Pasal 11 UU Pemprov DKI Jakarta tidak memberi ruang kalau terjadi pasangan tunggal. Sebab, ada potensi hanya ada pasangan calon tunggal dalam Pilgub DKI 2017,” kata dia memperkirakan.

Apalagi, lanjutnya, berbagai hasil survei yang dilakukan lembaga independen, elektabilitas Gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok selalu dalam posisi teratas. Sebab, saingan terberat Ahok, Yusril Ihza Mahendra belum terlihat akan menggunakan jalur independen yang harus memenuhi syarat dukungan.

“Potensi Ahok selalu teratas, belum ada calon yang sebanding (dengan Ahok) sekarang ini berdasarkan survei,” kata Advokat asal Surabaya ini.

Dia mengakui pengujian Pasal 11 ayat (2) UU Pemprov DKI Jakarta ini pernah diputus MK pada tahun 2012. Namun, dia mengklaim bahwa pengujian kliennya menggunakan pasal batu uji yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. ”Dulu hanya Pasal 11 ayat (2), kini semua pasal dan batu ujinya Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Menurutnya, kekhususan UU Pemprov DKI Jakarta yang bersifat lex spesialis ini tidaklah tepat karena kekhususan daerah biasanya dikaitkan dengan sejarah. Seperti, Yogyakarta terkenal dengan sejarah kerajaan, Aceh terkenal dengan sejarah hukum syariatnya. “Jakarta sama sekali tidak berkaitan dengan sejarah hanya kekhususan ditunjuk sebagai ibu kota negara,” dalihnya. “Jadi, kita minta agar Pasal 11 UU Pemprov DKI Jakarta dihapus, sehingga syarat pemenangan dan calon tunggal mengikuti UU Pilkada dan putusan MK terkait calon tunggal.”

Ketua Majelis Panel, I Dewa Gede Palguna meminta pemohon mempertajam uraian alasan konstitusional yang membedakan dengan permohonan sebelumnya. Selain itu, perlu ditambahkan uraian kerugian hak konstitusional yang lebih dipertegas. “Ini harus tampak dalam permohonan ini, kalau tidak bisa nebis in idem (objek pengujian sama),” kata Palguna mengingatkan.

Palguna mempertanyakan petitum permohonan yang jika dikabulkan, maka akan berlaku UU Pilkada. “Ini kan dalil Saudara, tetapi apa benar seperti itu? Sebab, UU Pemprov DKI Jakarta bersifat lex spesialis yang di dalamnya juga mengatur pemilihan kepala daerah. Bagaimana Saudara bisa menarik penalaran bahwa UU Pilkada bisa berlaku bagi DKI yang sudah memiliki UU khusus? Ini belum tampak dalam permohonan,” kata Palguna.
Tags:

Berita Terkait