Wapres Minta Penyempurnaan Data Kemiskinan Melalui Verifikasi Lapangan
Berita

Wapres Minta Penyempurnaan Data Kemiskinan Melalui Verifikasi Lapangan

Mekanisme verifikasi lapangan ini diharapkan menggunakan metodologi seperti yang digunakan BPS. Timboel menilai seharusnya pemerintah punya data tunggal yang memang dikelola oleh satu lembaga, sehingga tidak ada lagi perbedaan data sebagai rujukan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dalam rapat konsolidasi data kemiskinan di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (25/4). Foto: Humas Kominfo
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dalam rapat konsolidasi data kemiskinan di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (25/4). Foto: Humas Kominfo

Pemerintah terus membenahi persoalan data kemiskinan. Dalam rapat konsolidasi data kemiskinan di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (25/4/2020), Wakil Presiden, K.H Ma’ruf Amin mengarahkan agar dilakukan penyempurnaan data kemiskinan. Penyempurnaan data ini perlu dilakukan lewat pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Pemutakhiran data ini layaknya dilakukan melalui verifikasi lapangan secara nasional.

“Dalam melakukan verifikasi lapangan ini sebaiknya dilakukan menggunakan metodologi seperti yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 termasuk dilakukannya Forum Konsultasi Publik (FKP) di tingkat desa/kelurahan,” kata Ma’ruf seperti dikutip kominfo.go.id.   

Untuk melakukan verifikasi lapangan, Ma’ruf menyebut perlu data awal yang berasal dari DTKS dan data yang terkumpul dari berbagai daerah. Selain itu, diperlukan mekanisme pemutakhiran data yang valid pada tingkat nasional. “Sudah tentu mereka harus melalui proses verifikasi terlebih dahulu untuk bisa dimasukan ke dalam basis data,” ujarnya.

Ma’ruf melanjutkan pentingnya membangun mekanisme pendaftaran mandiri untuk melengkapi pemutakhiran besar tingkat nasional, sekaligus pemutakhiran dinamis (real time). Dia memaparkan banyak praktik baik negara lain dalam mengelola data perlindungan sosial. Misalnya, membagi pengelolaan data perlindungan sosial yang menjadi social registry (informasi mengenai orang yang memenuhi syarat menerima perlindungan sosial) dan beneficiary registry (datar penerima perlindungan sosial).

“Saya ingin Menko PMK (Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) dan Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) melakukan kajian tentang hal ini dan melaporkannya kepada saya,” pinta Ma’ruf memberikan arahan.

Ma’ruf menekankan data perlindungan sosial ini merupakan informasi berharga dan diperlukan tata kelola pengawasan yang baik. Dia melihat sempat ada kelompok kerja (pokja) data. Tim pengawasan seperti itu perlu dibentuk kembali dengan tugas memastikan kebijakan pengelolaan dan keakuratan DTKS sebelum ditandatangani Menteri Sosial.  

Penggunaan teknologi menurut Ma’ruf berperan penting dalam konsolidasi data kemiskinan. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi informasi yang baik dan terintegrasi di tingkat pusat dan daerah. “Saya ingin menyampaikan bahwa tersedianya jaringan internet secara bertahap ke seluruh pelosok tanah air (juga) perlu didukung,” usulnya.

Empat persoalan DTKS

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai pendataan selama ini menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah. Tercatat, sampai saat ini belum ada data tunggal dan valid yang menjadi rujukan pemerintah mengambil kebijakan dan keputusan. Dia melihat selama ini setiap kementerian dan lembaga menjalankan sendiri pendataannya.

“Seharusnya pemerintah punya data tunggal yang memang dikelola oleh satu lembaga, sehingga tidak ada lagi perbedaan data sebagai rujukan,” ujarnya ketika dihubungi, Jumat (26/6/2020).

Timboel mencatat pemanfaatan DTKS salah satunya sebagai rujukan pemerintah mengetahui jumlah orang miskin yang akan didaftarkan dalam program JKN. Dia menghitung sedikitnya ada 4 persoalan DTKS yang digunakan untuk mendaftarkan penerima bantuan iuran (PBI) JKN.

Pertama, proses pendataan atau cleansing data belum dilakukan secara obyektif. Ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat miskin yang belum terdaftar sebagai peserta PBI. Ini terjadi karena pendataan tidak langsung ke masyarakat, tapi melalui Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat sehingga datanya cenderung bias.

“Saya berharap cleansing data dipercepat, sehingga masyarakat yang jatuh miskin (salah satunya karena PHK) dapat segera dialihkan menjadi peserta PBI. Konsekuensinya menteri keuangan menaikkan kuota PBI yang saat ini 96,8 juta orang,” paparnya.

Kedua, kriteria orang miskin yang menjadi dasar untuk dimasukan dalam DTKS, menurut Timboel belum jelas. Kriteria yang dipakai tergolong subyektif oleh pihak yang mendata, sehingga tidak ada kriteria seragam.

Ketiga, masih ada peserta PBI yang tidak masuk DTKS. Menurut Timboel, hal ini terjadi karena proses cleansing data yang dilakukan Kementerian Sosial kurang akurat dan tidak dilakukan secara cepat dan berkelanjutan. Cleansing data PBI seharusnya dilakukan setiap bulan dengan jumlah data yang lebih besar.

Keempat, sampai Juni 2020 Timboel menghitung peserta PBI yang belum memiliki NIK sebanyak 7.241.927 jiwa. Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri perlu mempercepat cleansing data PBI ini karena bisa jadi peserta yang belum memiliki NIK adalah data ganda di PBI.

Timboel berharap penyempurnaan data sebagaimana arahan Ma’ruf diharapkan dapat segera dilaksanakan. Sehingga ada data tunggal dan valid yang menjadi rujukan bagi DTKS sekaligus menjadi acuan bagi peserta PBI JKN.

Tags:

Berita Terkait