Wantimpres Perlu Bantu Presiden Selesaikan Kasus HAM
Berita

Wantimpres Perlu Bantu Presiden Selesaikan Kasus HAM

Wantimpres bisa mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc kepada Presiden.

ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Wantimpres. Foto: wantimpres.go.id
Gedung Wantimpres. Foto: wantimpres.go.id
Sejumlah keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998 didampingi KontraS, IKOHI dan AFAD menyambangi kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), di Jakarta, Rabu (19/8). Mereka mendesak Wantimpres agar memberi masukan kepada Presiden dalam rangka menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998.

Wakil Ketua KontraS Bidang Advokasi, Yati Andriyani, mengatakan Wantimpres berperan penting dalam mendorong penyelesaian bermacam kasus pelanggaran HAM masa lalu. Menurut Yati, sesuai kewenangannya, Wamtimpres bisa melakukan itu dengan cara menyampaikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden Joko Widodo. Kewenangan itu sebagaimana diatur Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.

"Kami diterima Sidharto Danusubroto dan Sri Adiningsih. Kami meminta mereka memberi masukan kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terutama kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998," katanya kepada wartawan di Gedung Wantimpres di Jakarta, Rabu (19/8).

Menurut Yati sedikitnya ada empat hal yang bisa diusulkan Wantimpres kepada Presiden. Pertama, menindaklanjuti empat rekomendasi DPR untuk penyelesaian kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Empat rekomendasi DPR periode 2004-2009 yakni merekomendasikan Presiden membentuk pengadilan HAM Ad Hoc; mencari 13 orang yang dinyatakan masih hilang oleh Komnas HAM; merehabilitasi dan memberi kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang; dan segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Kedua, menindaklanjuti rekomendasi tersebut, dikatakan Yati, Presiden dapat segera membentuk tim pencarian korban penghilangan paksa dan membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Pembentukan itu bisa dilakukan dengan menerbitkan Keputusan atau Peraturan Presiden.

Ketiga, mengusulkan kepada Presiden untuk memastikan penyelesaian yang dilakukan pemerintah sesuai dengan prinsip hukum dan hak korban.

Keempat, menindaklanjuti langkah maju yang telah dilakukan pemerintah Presiden SBY yakni menandatangani konvensi internasional tentang perlindungan terhadap semua orang dari tindakan penghilangan paksa. Langkah itu perlu ditindaklanjuti Presiden Jokowi dengan cara meratifikasi konvensi tersebut. "Itu sebagai bentuk komitmen pemerintahan Presiden Jokowi untuk menghentikan dan mencegah praktik penghilangan paksa di dunia," ujar Yati.

Yati menilai Presiden Jokowi menunjukan keinginannya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Itu terlihat dari visi-misi dan Nawacita yang intinya ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan serta menghapus impunitas dalam sistem hukum nasional. Bahkan Presiden Jokowi menegaskan salah satu indikator tercapainya Nawacita yakni membentuk pengadilan HAM Ad Hoc pada 2015. Pada pidato kenegaraan 14 Agustus 2015, Presiden juga menyebut pemerintah berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Komitmen itu selaras dengan TAP MPR V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sejalan itu Komnas HAM telah menerbitkan penyelidikan pro justisia kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. DPR Periode 2004-2009 juga sudah menerbitkan rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti Presiden.

Ayah salah satu korban penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998 bernama Bimo Siahaan, Payan Siahaan, menyebut keluarga korban sudah berulang kali menyambangi Wantimpres, khususnya pada masa pemerintahan Presiden SBY. Namun, sampai saat ini belum ada hasil. Keluarga korban juga sempat menyambangi MPR yang ketika itu dijabat Sidarto Danusubroto.

Untuk itu Payan berharap Wantimpres di era pemerintahan Presiden Jokowi bisa bekerja jauh lebih baik ketimbang periode sebelumnya. “Kami kembali lagi ke Wantimpres untuk mengingatkan kembali, karena visi dan misi Presiden Jokowi serta yang tertuang dalam Nawacita itu ada itikad menyelesaikan kasus HAM masa lalu,” paparnya.

Payan berharap Presiden Jokowi dapat membentuk tim untuk mencari 13 orang yang hilang terkait peristiwa penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Menurutnya, pencarian dapat dilakukan dengan mudah karena sebelumnya Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan. Pemerintah hanya perlu mendalami temuan-temuan Komnas HAM dari hasil penyelidikan tersebut.

Ketua AFAD, Khurram Parvez, mengatakan pemerintah Indonesia berperan penting bukan saja untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM yang ada di dalam negeri, tapi juga bisa memimpin pemajuan HAM di kawasan Asia. Ia menilai Indonesia sudah banyak melakukan pemajuan di bidang HAM, termasuk telah menandatangani Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa.

Bagi Parvez, pemerintahan Presiden Jokowi perlu menindaklanjuti penandatanganan itu dengan meratifikasi konvensi tersebut. “Kami harap pesan itu disampaikan Wantimpres kepada Presiden Jokowi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait