Wamenkumham Sebut 3 Urgensi Pengesahan RUU KUHP
Terbaru

Wamenkumham Sebut 3 Urgensi Pengesahan RUU KUHP

Karena KUHP sudah ketinggalan zaman; tidak ada kepastian hukum; dan para ahli hukum terdahulu yang merusmuskan revisi KUHP memiliki sejumlah misi seperti demokrasi dan dekolonisasi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

KUHP terjemahan R Susilo menggunakan istilah “melawan hak.” Padahal “melawan hukum” dan “melawan hak” punya pengertian yang berbeda. Perbedaan terjemahan itu menurut Prof Eddy menimbulkan ketidakpastian hukum.

Ketiga, para pakar hukum pidana terdahulu yang membahas revisi KUHP menurut prof Eddy memiliki sejumlah misi, misalnya demokratisasi dimana revisi KUHP diharapkan memberi jaminan terhadap HAM seperti kebebasan berpendapat, dan berekspresi dengan batas tertentu. Batasan itu mengacu putusan MK. “Kami tidak bermaksud membangkitkan pasal yang sudah dimatikan MK. Formulasi yang kami susun sesuai putusan MK,” klaimnya.

Misi lain yang diusung dalam merevisi KUHP adalah dekolonisasi. Salah satu semangat dalam merevisi KUHP adalah menghilangkan pasal yang lekat dengan kolonialisme. Misalnya, Pasal 10 KUHP yang mengatur jenis pidana pokok seperti pidana mati; penjara; kurungan; dan lainnya. Jenis pidana itu mendominasi karena KUHP disusun dalam hukum pidana aliran klasik yang mengutamakan pidana sebagai ajang balas dendam.

“Orientasinya kala itu bagaimana memasukkan orang ke penjara dan tenaga mereka digunakan untuk kepentingan kolonial tanpa dibayar,” paparnya.

RUU KUHP yang ada saat ini sudah menghilangkan pasal yang dianggap identik dengan kolonialisme itu. Antara lain menerapkan pidana penjara sebagai pidana pokok, tapi bukan yang utama. Pasal 53 RUU KUHP mengatur hakim wajib menjatuhkan pidana yang lebih ringan misalnya pengawasan, kerja sosial, dan lainnya.

Tags:

Berita Terkait