Walhi Anggap Inpres Moratorium Sawit Positif, Tapi….
Berita

Walhi Anggap Inpres Moratorium Sawit Positif, Tapi….

Karena waktu selama tiga tahun untuk memberi penangguhan setiap perizinan dan evaluasi terhadap perkebunan sawit dinilai belum cukup di tengah beragamnya persoalan banyaknya pelanggaran, namun masih minim penegakkan hukumnya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Walhi Anggap Inpres Moratorium Sawit Positif, Tapi….
Hukumonline

Presiden Joko Widodo belum lama ini menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) mengenai penangguhan perizinan atau moratorium perkebunan kelapa sawit. Aturan tersebut tertuang dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang ditandatangani pada 19 September 2018.

 

Inpres ini berisi tiga poin besar yang harus dijalankan pemerintah yaitu penangguhan atau penundaan perizinan perkebunan kelapa sawit, evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit, dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit milik masyarakat. Pada ketentuan penangguhan, Inpres tersebut memoratorium atau menghentikan pemberian izin perkebunan kelapa sawit pada tiga jenis permohonan izin.

 

Pertama, perizinan berupa permohonan baru. Kedua, perizinan yang telah diajukan namun belum melengkapi persyaratan atau telah memenuhi persyaratan namun berada pada kawasan hutan produktif. Ketiga, permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip, namun belum ditata batas dan berada pada kawasan hutan yang masih produktif. Baca Juga: Larangan Hutan Alam jadi Kebun Sawit, Pemerintah Siapkan Inpres

 

Menanggapi isi Inpres tersebut, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid menyambut baik terbitnya aturan ini. Menurutnya, Inpres ini akan mengurangi dampak buruk pada wilayah-wilayah, khususnya hutan yang selama ini sudah terlanjur menjadi perkebunan kelapa sawit.

 

Meski demikian, Khalisah masih khawatir implementasi dari Inpres ini tidak optimal. Pasalnya, Inpres ini hanya berlaku selama tiga tahun untuk memberi penangguhan perizinan dan evaluasi terhadap perkebunan sawit. Ketentuan ini tercantum dalam diktum atau pernyataan kesebelas Inpres ini.

 

Menurut Khalisah, seharusnya pemerintah memerlukan waktu lebih lama dalam moratorium dan mengevaluasi perizinan-perizinan perkebunan sawit. “Sejauh ini, kami menyambut baik (Inpres) ini. Meskipun masih jauh dari harapan karena kami dorongnya 25 tahun sementara di Inpres hanya tiga tahun. Tapi, kami anggap ini langkah awal bagi pemerintah untuk membenahi tata kelola perkebunan kelapa sawit,” kata Khalisah saat dihubungi Hukumonline, Senin (24/9/2018).

 

Menurut Khalisah jangka waktu moratorium yang panjang akan meningkatkan kualitas hasil evaluasi pemerintah terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit yang selama ini didominasi perkebunan milik korporasi. Belum lagi, selama ini banyak terjadi pelanggaran namun masih minim penegakkannya. Pelanggaran tersebut antara lain mulai tidak melakukan kewajiban rehabilitasi lahan atau restorasi wilayah gambut hingga persengketaan lahan/tanah dengan masyarakat.

 

Khalisah juga menyambut positif mengenai Instruksi kepada kementerian untuk memastikan berjalannya kebijakan perkebunan plasma atau alokasi 20 perkebunan milik korporasi untuk perkebunan rakyat yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dapat berjalan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perkebunan secara langsung sekaligus meningkatkan produksi pertanian lokal.

 

Dia berharap instruksi ini pemerintah dapat menegakkan hukum pada setiap korporasi yang melakukan pelanggaran. “Sebenarnya bagaimana perizinan dan penegakkan hukum ini dilakukan secara bersamaan. Karena ada juga perizinan-perizinan yang bermasalah, ini (Inpres) ini menjadi jalan bagi pemerintah untuk mengevaluasi perizinan dan penegakkan hukumnya,” harapnya.

 

Tugas besar Kementerian KLHK

Instansi yang mendapat tugas besar menjalankan Inpres ini yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK). Lembaga yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar tersebut harus menyusun dan verifikasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Nantinya, data tersebut mencakup nama dan nomor, lokasi, luas, peruntukan, dan tanggal penerbitan perizinan.

 

Mengutip situs resmi Sekretariat Kabinet, Inpres ini menginstruksikan Menteri LHK untuk mengevaluasi terhadap peralihan kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit yang belum dikerjakan atau dibangun, masih berupa hutan produktif khususnya bernilai konservasi tinggi, ataupun terindikasi tidak sesuai dengan tujuan pelepasan atau tukar menukar dan dipindahtangankan pada pihak lain.

 

Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan agar mengidentifikasi perkebunan kelapa sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan. Identifikasi ini diperlukan untuk mengetahui perkebunan sawit milik korporasi yang tumpang tindih dengan kawasan moratorium perkebunan, seperti kawasan hutan gambut dan alam.

 

Dari hasil evaluasi tersebut, Presiden juga menginstruksikan Menteri LHK untuk menindaklanjutinya dengan penetapan kembali areal yang berasal dari kawasan hutan yang telah beralih menjadi perkebunan kelapa sawit. Kemudian, Menteri LHK juga diamanatkan mengambil langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi kepada pihak yang telah melakukan pelanggaran sesuai ketentuan atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan verifikasi data, evaluasi atas pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

 

Selain Kementerian LHK, Inpres ini juga menginstruksikan kepada Menteri Pertanian untuk mengevaluasi proses pemberian Izin Usaha Perkebunan dan pendaftaran Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, dan yang telah diterbitkan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Atau izin usaha perkebunan untuk budi daya kelapa sawit untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling kurang 20 persen dari total luas areal lahan yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.

 

Kemudian, Presiden juga menginstruksikan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan evaluasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit untuk memastikan kesesuaiannya dengan peruntukan tata ruang sekaligus pemanfaatannya. Evaluasi ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan sekaligus memastikan tidak terdapatnya peralihan kewenangan HGU tanpa pendaftaran BPN.

 

Melalui Inpres ini pula, Presiden menginstruksikan Menteri ATR/Kepala BPN untuk melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan hak masyarakat seluas 20 persen dari pelepasan kawasan hutan dan dari HGU perkebunan kelapa sawit.

 

Presiden juga menginstruksikan Menteri ATR/Kepala BPN melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah pada lahan-lahan perkebunan kelapa sawit rakyat. Dengan adanya Inpres ini maka Kementerian LHK, Kementerian Pertanian dan Kementerian ATR/BPN wajib melaporkan hasil evaluasinya kepada Kementerian Koordinator Perekonomian.

Tags:

Berita Terkait